Skip to main content

Maaf

Oleh: Nadia Almira Sagitta


Ada seorang gadis kecil terduduk di pojok kamar.

Ia sedang bersedih, wajahnya muram, kepalanya ditundukkan sedari tadi.

Tangannya yang kurus memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di sana.

Bulir-bulir air mata mengalir, membasahi kedua pipinya…

Isakan tangis pun terdengar, menggema di kamar kosong itu.

Sedapat mungkin ia mengecilkan suaranya, tapi tak dapat ia lakukan

Terlalu sedih, terlalu berat, terlalu sakit untuk ditahan-tahan

Sedari tadi bibirnya bergetar meluncurkan kata “maaf”

Maaf…Maaf… Maaf…Maaf…

Ditujukan kepada seseorang yang entah masih mengingatnya ataukah tidak

Tapi sungguh, ia benar-benar meminta maaf

Meminta maaf atas perlakuannya terhadap ‘seseorang’

Meminta maaf atas sikapnya selama ini

Meminta maaf telah membuat ‘seseorang’ itu bersedih

Meminta maaf pabila ia telah menyakiti hati ‘seseorang’

Meminta maaf karena telah mengecewakan hati ‘seseorang’ itu

Tak habisnya kata maaf itu mengalir dari mulutnya…

Sungguh, hal ini sangat mengganggu hatinya

Hingga hanya kata maaf yang dapat ia ucapkan sambil menangis.

Semakin lama, mata gadis itu makin basah oleh air mata

Diusapnya beberapa kali, tak juga menghentikan isak tangisnya

Hatinya berat dan sakit, ada sesuatu yang meresahkan hatinya

Yang pada akhirnya membuatnya terus mengeluarkan air mata, menandakan kesedihannya

Ingatannya melayang ke masa lampau, kejadian-kejadian indah itu, saat ia bimbang dilema

Dirangkaikan satu persatu, dihubungkan, hingga akhirnya tersambung dengan kejadian yang ia alami sekarang ini.

Kejadian yang sejak tadi, membuatnya muram.

Ia ingin menyesal tapi tak bisa.

Ia telah memutuskan suatu hal…

Dan ia harus konsisten dengan keputusannya.

Terlalu terlambat untuk memutar dan mengulangi semuanya.

Apalagi untuk menyesalinya.

Menyesal itu tiada guna lagi untuk sekarang ini.

Apa daya, semua telah terjadi.

Nasi sudah menjadi bubur, pikirnya.

Mengingat semua itu, tangisannya kembali membuncah…

Bibirnya kembali mengurai kata “maaf”

Hanya kata maaf, tangisan, dan kesendirian yang menemaninya malam itu.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

Aku hanya memandangi gadis itu dari balik pintu

Aku paham dengan keadaannya.

Ia tersudut antara dua pilihan yang sulit

Menyangkut perasaan dan hati kecilnya.

Berlawanan arah…

Aku sempat melihatnya bimbang akhir-akhir ini.

Ia lebih sering menyendiri, berdialog bersama tuhannya

Memanjatkan doa, meminta jalan keluar…

Setiap hari, setiap jam, setiap menit.

Tiap kali aku melihatnya berdoa, setiap kali itu juga tangisannya meleleh…

Aku tahu kesedihan sedang membelenggunya, kesedihan yang begitu dalam.

Yang tiada dimengerti oleh siapapun, terkecuali dirinya sendiri.

Hanya dia yang mengerti, bahkan mungkin ‘seseorang’ yang secara tidak langsung membuatnya sedih pun, tak akan mengerti…

Memang, hanya dia yang mengerti

Memang, dia sendiri yang membuat dirinya sedih

Memang, dia sendiri yang membuatnya dirinya berkesusahan hati

Memang, dialah yang mencari gara-gara

Namun, aku sendiri tak bisa menyalahkan dirinya atas kesedihan yang dia buat sendiri

Aku paham, dia mempunyai alasan tersendiri dibalik keputusannya

Aku yakin, apapun keputusannya, telah ia pikir dengan matang.

Dan aku harap, jalan apapun yang ia pilih, itulah yang terbaik untuknya.

Semoga.

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Autobiografi masuk di Universitas Indonesia

Di tengah asyiknya membicarakan jurusan saat kuliah nanti, “Nad, mau masuk apa pas kuliah?” “InsyaAllah, Sastra Indonesia UI.” “Kok sastra Indonesia, sih?” * * * Pertanyaan itu kerap kali terngiang di telinga tatkala aku menyebutkan jurusan idamanku. Mengapa? Apa ada yang salah? Tak pantaskah aku mengecap ilmu di jurusan yang bertitel sastra Indonesia? Pertanyaan yang begitu merasuk hati, mengganggu. Dalam hati, aku hanya bisa berharap semoga orang tuaku merestui jurusan ini. Namun alangkah sayangnya, ternyata keinginanku ditolak mentah-mentah, apalagi oleh ibuku. Beliau tidak meridai keinginanku berkuliah di jurusan sastra. “Kalau tetap bersikeras kuliah di situ, saya tidak mau membiayai,” MasyaAllah! Apa yang ada di pikiran beliau saat itu? Bagaimana pula aku bisa membiayai kuliah sendiri? Ayah mencoba memberi saran, “Coba Nadia cari jurusan lain. Kamu sudah berbalik arah ke IPS, kan? Jurusan banyak, kok, bukan cuma sastra Indonesia. Apa kamu takut tidak lulus ...