Skip to main content

Jelajah Candi-candi di Ketinggian (1)

Minggu, 7 Januari 2017, aku mengajak Rahma untuk menikmati mentari pagi di Spot Riyadi. Rencana pukul 05.30 sudah naik Transjogja malah molor sejam. Kami turun di halte Pasar Kalasan dan memesan Go-car. Karena jam menunjukkan waktu nyaris setengah delapan, tampaknya penampakan mentari di tempat tujuan kurang istimewa. Spot Riyadi kami hapus dari daftar dan langsung menuju Candi Barong. Gaya banget, ya, kami naik Go-car. Berkat kupon Go-points (850 pts), alhamdulillah!

Candi Barong tak jauh dari Candi Prambanan, hanya sekitar 4,6 km, tepatnya di Dusun Candisari, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Tarif masuk per orang Rp5.000,00. Candi yang bercorak Hindu ini terdiri dari tiga teras. Candi terletak di teras teratas dan dibatasi dengan gapura paduraksa (gerbang beratap). Candi Barong terdiri atas dua candi utama yang difungsikan sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu dan Laksmi (Dewi Sri), istrinya. Jarang-jarang, nih, ada candi yang memuja Dewa Wisnu. Rata-rata, kan, memuja Dewa Siwa yang identik dengan keberadaan lingga yoni. Ditengarai, candi ini juga dibangun untuk memuja Dewi Sri dan memohon kesuburan bagi tanah di sekelilingnya.

Teras pertama

Teras kedua, semacam pelataran

"Nad, kenapa gerbangnya nggak di tengah, ya?" celetuk Rahma. Aku memerhatikan gerbang yang letaknya memang tidak di tengah kedua candi, tetapi menghadap candi Dewa Wisnu. Candi di sebelahnya adalah Candi Dewi Sri. Alasannya entahlah. Barangkali supaya area percandian itu berpusat Dewa Wisnu?

Gapura Paduraksa

Berfoto di depan gapura

Bangunan Candi Barong, seperti candi-candi lainnya, tersusun dari batu andesit. Kaki candi punden berundak, badan candi dihiasi dengan relief sulur dan relung kala makara yang ditopang oleh relief Gana (kurcaci berperut buncit), atapnya tersusun atas tiga tingkat ratna permata, ciri khas candi Hindu, dan mastaka (kemuncak) candi adalah lingga. Terdapat susunan tambahan berhiaskan mahkota kecil yang memisahkan bagian kaki, badan, dan atap candi. Kedua candi tidak memiliki ruangan. Ini mengingatkanku pada Candi Gebang yang juga tidak memiliki ruangan. Berdasarkan beberapa sumber, Candi Barong dinamai demikian karena kala makaranya mirip dengan barong khas Bali itu. Aku sendiri masih bingung membedakan kala makara yang ini dengan kala makara candi-candi lainnya. Rasanya, kok, sama saja?

Candi Barong

Di antara
Over exposure biar reliefnya terlihat, hahaha

Kompleks Candi Barong cukup luas dan asri. Mata akan dimanjakan dengan rumput, pohon, dan sawah. Tatkala kami datang, ada dua ibu petani yang sedang mengurusi sawah di dekat teras pertama Candi Barong. Oh ya, kita dapat mengintip Candi Banyunibo dari teras kedua! Kalau mau foto yang lebih apik, coba menembus pagar pembatas, deh.

Candi Banyunibo


Segarnya pemandangan

Puas berfoto-foto di sini, kami bertolak ke Tebing Breksi yang menurut seorang blogger dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Pak satpam pun berujar demikian.
"Mbak-mbak lurus saja terus. Nanti ketemu embung, ikuti jalannya."
"Tanjakan nggak ya, Pak?"
"Oh nggak, ini datar saja. Dekat, kok, Mbak. Kalau naik kendaraan malah harus putar dari sini."
Sip oke! It settled then. 

Tralala-trilili, jalanan aspal yang dikira mendatar ternyata mulai menanjak. Jalanan yang semula aspal pun berganti dengan jalan berbatu. Kiri-kanan pohon. Nuansa alamnya terasa sekali. Sampai-sampai kami takut kalau ada binatang tak diharapkan. Jalan yang kami ikuti mulai mengarah ke perkampungan warga dan embung. Tampak dua orang sedang memancing dan seorang gembala sedang memandikan keenam sapinya. Wuah, kalau dijual bisa tembus seratus juta kali, ya? Dari embung, kami berbelok ke kanan. Ketemu dengan gembala lain yang sedang memegang induk sapi, sementara si anak sapi dibiarkan lepas. Oh my, anak sapi itu berjalan melompat riang gembira dan membuat kami takut.
"Nad, kalau sapinya ke arah kita, aku bisa-bisa loncat ke samping (baca: hutan)!"
"Aku juga takut banget ini."
Tatkala kami berpapasan dengan si sapi, aku berusaha memasang tampang cuek. Eh, mata kami bertemu dan sapinya ... mengarah ke aku dan Rahma! Langsung lari dan teriak, dong, kami berdua. Hahaha. Untung sapinya tidak berbalik mengejar.

Belum lama setelah itu, ketemu anjing liar. Yeu, kami berdua sama-sama takut anjing. Was-waslah. Alhamdulillah, anjingnya tidak menunjukkan gelagat akan menguntit kami berdua. Aman. Kami berjalan lurus hingga ke persimpangan. Jika lurus terlihat jalanan menanjak, jika memilih kanan ada jalanan beraspal yang entah 'kan membawa ke mana. Sebab di dekat embung tadi kami diberi tahu bahwa jalanan ke Breksi menanjak, kami memilih jalur lurus bin licin itu. Kami berjalan di samping jalan, yakni tempat bebatuan dan tanah berada agar bisa menjejak dan berpegangan. Eng, ing, eng, ternyata buntu! Rumah-rumah warga saja. Seharusnya kami memilih jalur kanan yang beraspal itu. Dalam perjalanan turun, ketemu beberapa pesepeda. Siplah, mereka pasti mau ke Tebing Breksi, tuh.

Wah, perjalanan ini masih panjang rupanya! (bersambung)

Referensi:

Comments

  1. Wow.. Keren juga Candi Barong..
    Sayang belum pernah berkunjung, pernahnya nyaris.. hehe

    Salam kenal & Happy Blogging...

    menggapaiangkasa.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun