"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku."
"Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?"
"Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini."
"Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku berapa pun lamanya. Tapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah, kaya-raya, berbangsa, beradat, berlembaga berketurunan. Kau kawin dengan dia. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan hati kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati. Dua bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur. Kau jenguk saya dalam sakitku menunjukkan bahwa tangan kau telah berinai bahwa kau telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati? Saya kirimkan surat-surat meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani. Tiba-tiba kau balas saja surat itu dengan suatu balasan yang tak tersudu diitik, tak termakan diayam. Kau katakan bahwa engkau miskin, saya pun miskin. Hidup tidak akan beruntung kalau tidak dengan uang. Karena itu kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di dalam emas, bersayap uang kertas!"
"Zainuddin..."
"Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati? Siapakah yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan, tetapi akhirnya terbuang jauh ke tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya sehingga dia menjadi seorang anak komidi yang tertawa di muka bumi, tetapi menangis di belakang layar?
"Zainuddin..."
"Tidak, Hayati. Saya tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kau yang meminta di dalam suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja diganti dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku, tetapi janda dari orang lain. Maka itu, secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara, saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang cintaku. Itulah sebabnya dengan segenap rida hati ini, kau kubawa tinggal di rumahku untuk menunggu kedatangan suamimu. Tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali pulang tetapi surat cerai dan kabar yang mengerikan. Maka itu sebagai seorang sahabat pula kau akan kulepas pulang ke kampungmu, ke tanah asalmu. Tanah Minangkabau yang kaya-raya yang beradat berlembaga yang tak lapuk di hujan, tak lekang di panas. Ongkos pulangmu akan saya beri, demikian uang yang kau perlukan. Kalau saya masih hidup sebelum kau mendapat suami lagi, insya Allah kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu."
"Zainuddin, itukah keputusan yang engkau berikan kepadaku? Bukankah kau telah termasyhur di mana-mana, seorang yang berhati mulia? Tidak, saya tidak akan pulang, saya akan tetap di sini bersamamu. Biar saya kau hinakan, biar saya kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak butuh uang berapa pun banyaknya, saya butuh dekat dengan kau, Zainuddin. Saya butuh dekat dengan kau."
"Tidak! Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa. Kau mesti pulang kembali ke Padang, biarkan saya dalam keadaan begini. Jangan mau ditumpang hidup saya, orang tidak tentu asal. Negeri Minangkabau...beradat!"
Sedih...ini adegan yang bikin satu teater banjir air mata. :'(
"Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?"
"Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini."
"Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku berapa pun lamanya. Tapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah, kaya-raya, berbangsa, beradat, berlembaga berketurunan. Kau kawin dengan dia. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan hati kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati. Dua bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur. Kau jenguk saya dalam sakitku menunjukkan bahwa tangan kau telah berinai bahwa kau telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati? Saya kirimkan surat-surat meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani. Tiba-tiba kau balas saja surat itu dengan suatu balasan yang tak tersudu diitik, tak termakan diayam. Kau katakan bahwa engkau miskin, saya pun miskin. Hidup tidak akan beruntung kalau tidak dengan uang. Karena itu kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di dalam emas, bersayap uang kertas!"
"Zainuddin..."
"Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati? Siapakah yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan, tetapi akhirnya terbuang jauh ke tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya sehingga dia menjadi seorang anak komidi yang tertawa di muka bumi, tetapi menangis di belakang layar?
"Zainuddin..."
"Tidak, Hayati. Saya tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kau yang meminta di dalam suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja diganti dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku, tetapi janda dari orang lain. Maka itu, secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara, saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang cintaku. Itulah sebabnya dengan segenap rida hati ini, kau kubawa tinggal di rumahku untuk menunggu kedatangan suamimu. Tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali pulang tetapi surat cerai dan kabar yang mengerikan. Maka itu sebagai seorang sahabat pula kau akan kulepas pulang ke kampungmu, ke tanah asalmu. Tanah Minangkabau yang kaya-raya yang beradat berlembaga yang tak lapuk di hujan, tak lekang di panas. Ongkos pulangmu akan saya beri, demikian uang yang kau perlukan. Kalau saya masih hidup sebelum kau mendapat suami lagi, insya Allah kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu."
"Zainuddin, itukah keputusan yang engkau berikan kepadaku? Bukankah kau telah termasyhur di mana-mana, seorang yang berhati mulia? Tidak, saya tidak akan pulang, saya akan tetap di sini bersamamu. Biar saya kau hinakan, biar saya kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak butuh uang berapa pun banyaknya, saya butuh dekat dengan kau, Zainuddin. Saya butuh dekat dengan kau."
"Tidak! Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa. Kau mesti pulang kembali ke Padang, biarkan saya dalam keadaan begini. Jangan mau ditumpang hidup saya, orang tidak tentu asal. Negeri Minangkabau...beradat!"
Sedih...ini adegan yang bikin satu teater banjir air mata. :'(
Comments
Post a Comment