Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2017

Menolak Kenyataan

Ia  memandang kotak nasi yang baru saja disorongkan padanya tanpa bernafsu menyentuhkan jemari pada tutupnya.  Ia merasa kenyang. Maka kembalilah ia ke kamar tidur dan menarik satu buku dari dalam lemari.  Buku yang berwarna biru dengan garis-garis merah itu berisi lembaran-lembaran kosong, sebuah buku tulis.  Pena bergerak-gerak sebentar, berhenti, lalu bergerak lagi.  Memberikan waktu bagi sang penulis untuk mengolah apa yang berkacau dalam pikiran.  Decit-decitan ban mobil yang bergesekan dengan aspal menjadi teman menulisnya malam itu.  Semenjak berjumpa kembali dalam pertemuan yang tidak disengaja, malam-malam ia habiskan dengan duduk di pojokan kamar dan menatap, entah menatap apa. Pandangannya tertuju ke dinding, tetapi pikirannya jauh pergi meninggalkan tubuhnya. Dalam kekosongan itu, ia mengerjap-ngerjapkan mata, memijat leher dan bahunya, seolah ingin melepaskan beban yang bertengger di sana. Lalu merembeslah air dari dua bola matanya yang kuyu. Telah empat malam berlalu

Menunggu

Satu jam lalu kami mengait janji untuk bertemu sebelum esok dia kembali ke Riau. Jemariku bolak-balik di jendela Instagram, Whatsapp, dan home . Nihil kabar. Nihil notifikasi. Penuh gelisah, kutatap langit yang menggelap. Awan-awan robek dan menjatuhkan hujan sekeras-kerasnya. Tempiasnya terdengar hebat di atap yang menaungiku. Sejak dulu kutahu ia tak suka hujan. Janji yang telah disepakati dapat ia batalkan semena-mena dengan alasan hujan. Aku tak mengerti jalan pikirnya yang satu itu, sungguh konyol terdengar di telingaku. Telah ada ciptaan bernama payung dan mobil maka alasan yang diagungkannya itu tampak kuno sekali. Delapan dua puluh dan gerimis ritmis. Belum tampak juga batang hidungnya. Tiga belas kali aku menghubunginya lewat telepon yang berakhir dengan pesan suara. Ke manakah ia, lelakiku? Ia janji takkan membiarkanku sakit. Ia selalu menjadi yang paling rewel dengan jadwal makanku, jaket yang seringkali kulupa untuk menyelimuti rangka ringkihku, dan juga jam pulang malam

Bookriot's 2017 Read Harder Challenge!

sumber gambar Halo! Beberapa hari ini aku sedang keranjingan Goodreads dan berpartisipasi dalam tantangan baca tahun 2017. Aku memasang target enam puluh buku . Cukup berani, sebetulnya, mengingat banyak hal yang harus kukerjakan tahun ini. Akan tetapi, jika sudah berniat, aku yakin bisa tercapai asal berusaha. So that's that, sixty books this year . Sehubungan dengan tantangan itu, aku tadi membaca pendapat yang kontra terhadap tantangan semacam ini. Salah satu artikel yang kubaca mengarahkanku pada situs Bookriot yang juga mengeluarkan tantangan baca: 2017 Read Harder Challenge. Perbedaannya, Bookriot tidaklah berfokus pada jumlah buku, melainkan kriterianya.  Tantangannya bisa dilihat di sini Aku putuskan untuk juga mengikuti tantangan baca dari Bookriot. Ide mereka unik dan memaksa pembaca untuk bereksplorasi pada tema-tema tertentu. Ini poin bagus bagiku yang ingin keluar dari zona nyaman. Namun, aku memodifikasi kriterianya karena ketiadaan beberapa buku ses

Meja Rias

sumber gambar Ia menekurkan kepala di meja rias. Menatap botol-botol dan tube kecantikan di depan kaca. Terdengar dengkur lemah suaminya, sedang pikirannya tertuju pada percakapan empat hari lalu. Sepupu terkecilnya tiba-tiba bertanya, "Mbak, Mbak kapan punya dedek?" "Eh, hehe, iya belum, sayang." "Punya dong, Mbak, biar Gina punya teman main." Ah, anak kecil. Pertanyaan polosnya tak sengaja menyilet hati rapuhnya. "Kalian nggak program aja?" timbrung ibunya Gina. "Nggak, nih, Tante. Hehe. Siklusku juga masih kacau." "Sudah cek ke dokter kandungan? Tante ada rekomendasi, nih." "Boleh, Tan. Aku catat, ya." Jemari lentiknya mencatat nama dokter beserta tempat praktik, meskipun ia tahu informasi tersebut hanya akan teronggok di meja. Bukan. Bukannya ia tak ada usaha. Diagnosis PCOS yang ia terima beberapa bulan lalu juga telah ia konsultasikan kepada ginekolog dekat rumah agar mendapatkan penanganan. Tetapi

Kenalan Perjalanan Kereta

sumber gambar Koper kugeret sampai ke depan kursi 13C. Sayang sekali bukan kursi berkode D favoritku. Sudah terisi. Seseorang berpipi kemerah-merahan duduk di sana menatap jendela hitam. Baru saja usai menyudahi pembicaraan di telepon. Basa-basi sedang di mana, sampai jumpa lagi, dan ditutup dengan suara berbisik, "Sudah ya, isin aku." Aku mengeluarkan bantalan U yang kubeli sehari sebelumnya. Juga merobek plastik selimut pinjaman yang dibagikan pramugara. Sementara itu, dia duduk tenang-tenang saja tak terusik dengan headset yang terpasang di telinga. "Cool juga," pikirku. "Tetapi manis seperti anak mama," tambahku lagi. Aku memperhatikannya sejenak lalu memalingkan muka ke arah ponselku sendiri. Ketika aku mengangkat kepala, kami bersitatap. Ia tersenyum dan aku balas senyum. "Mau ke arah mana?" "Aku Yogya, kau?" "Klaten." "Oalah, tinggal di sana po?" "Ini mau ke rumah nenek. Aku kuliah di

Perjalanan Malam Hari

sumber gambar Aku selalu suka perjalanan malam hari, entah darat atau udara. Jangan tanyakan jalur air sebab aku sudah lupa sensasi naik kapal semenjak diriku masih pipis di celana. Aku selalu suka perjalanan malam hari. Alasanku, suasananya syahdu. Lihat kemerlip lampu-lampu. Merasakan angin malam membelai wajah juga kuku-kuku. Jalanan pun lengang memancing sendu. Cocok untuk mengingat pilunya masa lalu diiringi bulir-bulir air mata yang turun tanpa ragu.   Aku selalu suka perjalanan malam hari. Jangan heran kalau tahu-tahu kau temui senyumku pada kaca spionmu. "Kenapa senyum?" "Eh, nggak apa-apa. Senang saja lihat lampu-lampu begini. Cantik." "Kamu jarang keluar malam, ya?" "Iya. Ini baru pertama selama di sini." "Sama aku." "Iya, sama kamu." Bolehlah kau sedikit jemawa mengira aku senyum karenamu. Hahaha, sebab aku juga tak yakin: apakah aku senang karena berkeliling kota malam hari atau karena menghabis

Kesempatan Itu

sumber gambar Kau selalu menangkap kesempatan untuk menyenangkan hatiku Tetapi tidak menawariku kesempatan yang sama Mengapa? Tidak seimbang jadinya Tiada dipinta, tetapi selalu diberi Entah mesti senang atau sedih Sebab aku jadi tak enak hati Sungguh tak ingin seperti Kugy dan Remi Tanpa ada kata saling yang menyelimuti Dengan begitu pasti jenuh sendiri Sampai memuncak lalu sadar dan pergi Jangan Aku belum mau kau lekas-lekas pergi Jadi sekali ini Tawari aku kesempatan itu Yang selama ini selalu kau halang-halangi Yogyakarta, April 2017

Pereda Gelegak Rindu

sumber gambar Hanya sebuah perjumpaan kupinta Dengar-dengar, ia ampuh menghalau gelegak rindu Tak ada yang suka tak berdaya Terpenjara Oleh perasaan yang seolah tak ada habisnya Meski lagi-lagi katanya Perjumpaan itu candu, membuat ketagihan Dan makin menegaskan perasaan Dan makin menyesaki pikiran Dan merupakan gerbang keresahan-keresahan masa depan Tetapi aku tak peduli Yang kutahu hasrat hati menuntut dipenuhi   Hanya setunggal yang ingin kupetik Adakah sinar-sinar yang sama terpancar Dari bola matamu Seberkas sinar itu Akan sangat menentukan Apakah masih akan kupelihara namamu Dalam pucuk-pucuk harapku   Yogyakarta, April 2017

Yojana

sumber gambar Semilir angin menyapu pasir-pasir juga helai-helai rambut kita . Aku menutup mata. Meresapi ketenangan , menghirup udara yang dibawa sang angin .   "Ima..." "Hm?" "Aku tidak ingin momen ini berakhir." "Siapa yang akan mengakhirkan? Ini masih ada. Kita masih di sini." "Hanya khawatir. Musim berikutnya masihkah ada kita?" Aku lalu menolehkan kepalaku menatapmu. Jelas sekali tergambar segurat kecemasan. "Mengapa tidak kau kekalkan saja kalau begitu takut? Dengan begitu, kita akan selalu hidup dalam tiap momen." Aduh, apakah aku salah bicara? Kau mengatupkan bibir kini. Mengikatkan diri, memberi label, mengekalkan hubungan, kau sangka semua itu mudah, Ima? Betapa tololnya diriku. "Iya, Ima. Kau benar. Maaf, ya." "Maaf karena?" "Aku tidak memberi kejelasan apa-apa." "Ya. Sudah biasa." "Tetapi kau tak perlu menunggu." Aku tercenung. Maksudmu apa? "Iya, k

Debur di Pesisir

sumber gambar debur debur dan kecipak kaki sepasang anak muda meninggalkan jejak di pasir yang kemudian pupus tersapu ombak ada kau bermain dengan setangkai kayu mengaduk butir-butir pasir membentuk suatu pola bertuliskan namaku aku ikut mengguratkan sesuatu dengan jemari : namamu kurang lengkap, ah, protesmu apakah itu, tanyaku pura-pura tidak tahu tengahnya hampa dan kita seperti terpisah, ujarmu lagi tangkai kayu kau gerakkan membentuk lengkung hati tertebak sebenarnya, tetapi semu dan senyum tetap tak dapat kutahan dan kau juga berbinar menatap mataku sebelum meraihku ke dalam pelukan. Yogyakarta, Mei 2017

Taman Kota

sumber gambar Siang itu di sebuah taman kota. Cuacanya panas, tentu saja. Huh, siapa yang punya ide ke taman kota? Kita yang baru turun dari Kopaja kini menyisir setapak dengan bunga di kanan kiri. Kau bertanya, apakah aku suka bunga, jenisnya apa, dan warnanya apa. Aku menunjuk bunga di kanan sebagai jawaban, barisan kembang sepatu. Aku mendekat ke bebungaan itu kemudian memintamu, boleh fotokan aku di sini? Kau menyambut kamera dari tanganku dengan sumringah kemudian aku berpose dengan sedikit kikuk. Bagaimanapun, ini kau yang memotretku. Setelah mengamati hasil foto itu sejenak, kau menyelipkan pujian, cantik seperti biasa. Hahaha apa sih, tepisku seraya menyembunyikan semburat malu di pipi. Di tengah-tengah taman, tegak sebuah air mancur kecil dan burung gereja sedang bertengger di pinggirnya. Taman kota saat itu tidak terlalu ramai, selain kami ada sekumpulan remaja yang sedang asyik dengan tongkat selfie. Tak jauh dari air mancur, kursi-kursi kayu panjang te

Kursi Keempat belas

sumber gambar Aku berjalan di lorong pesawat, mencari-cari kursi bernomor empat belas A. Pesawat malam itu cukup lengang penumpang karena rutenya berlawanan dari arus mudik kepulangan. Komputer jinjing di tangan kuletakkan di kompartemen, sementara ranselku kubawa serta ke kursi. Masih sepi, dua kursi sampingku belum ada yang menempati. Keadaan di seberang sama saja, hanya ada seseorang di kursi terujung. Seorang pria berkulit sawo matang dan berkacamata. Tingginya entah, aku tak dapat mengira-ngira. Ia duduk anteng mengamati jendela sembari sesekali menyapukan pandangan ke lorong. Pramugari yang mondar-mandir tak menghalangi kami untuk bertemu muka dan bertukar pandang. Pandangan sekilas saja sebagaimana dua orang asing yang tak pernah berjumpa sebelumnya. Setengah jam penerbangan, aku mulai bosan mengamati jendela. Yang terhampar di bawah hanyalah perairan, bukan lagi lampu-lampu perumahan. Hm, si Mas berkacamata sedang apa? Sedari lepas landas tadi dia juga men

Lembayung Senja

sumber gambar Lembayung ketujuh puluh menyambangi bibir pantai kala itu dan kita masih tak saling tanya Kutuliskan pesan yang kemudian kuhapus lagi berulang kali seringnya bertanya apa kabar dan memohon maaf namun, kutahu kau tak rela kuganggu setelah kau sendiri yang mengutarakan benci dan aku memang tak berniat mengganggu hanya saja rindu yang menggebu nyaris mengesampingkan segala gengsi Kau yang tak tahu atau tak mau tahu memuncakkan amarah menempatkanku pada bangku si keliru aku diam tak menepis tuduhanmu keputusan yang kubuat sudah terlalu pedih untuk dinikmati jangan lagi menambah perih dengan pleidoi yang tak akan kaupahami Lembayung senja ketujuh puluh di tepian favorit perlahan pudar oleh gelap dan kita masih tak saling sapa. Yogyakarta, Mei 2017

Cikini dan Dua Gadis Puitis

sumber gambar Cikini, duaribuenambelas Setelah puas mengisi relung hati dengan kedamaian puisi dua gadis mengistirahatkan kaki di warung makan bahari salah satu sibuk mengamati lalu-lalang Cikini menegaskan ada yang tertinggal di memori lainnya bertanya ada apa dan mengalirlah sebuah kisah cinta setelahnya, ia kembali ditanya, kalau kamu bagaimana? wajah itu, yang tak pernah ia amati lamat-lamat sebelumnya jatuh pilu dan menatap sayu sisi sendu yang tersembunyi sengaja dikuakkan malam itu melengkapi keramaian dan bisik-bisik malam di Jalan Cikini Dua gadis jatuh pada lelaki puitis bermodal untaian kata manis kata mendayu-dayu serupa narkotika hati dua gadis yang terjerat nikmat saling menyemangati "Semoga kita tidak jatuh pada bualan," "Aamiin, kuharap begitu," jeritan ular besi tujuan kota hujan menutup percakapan dan mengantar dua gadis kembali ke peraduan   Tangerang dalam memori akan Cikini gadis puitisku patah hati terlambat aku mengetahui tet