sumber gambar |
The Hose (2017) Mansour Forouzesh 14 menit
sumber gambar |
Seorang guru sekolah dasar, Nobari, mulai menyadari metode hukuman dengan kekerasan fisik yang selama ini digunakannya tidak memberikan efek yang signifikan. Hari itu, Nobari menceritakan perihal metode ajar pada murid-murid dan membuang pecut kesayangannya. Pelajaran hari itu dimulai dengan soal perkalian. Shalbaaf, seorang murid, tidak bisa menjawab pertanyaan Nobari yang membuat Nobari memarahinya di kelas. Keesokan harinya, Nobari membuka kado dari Shalbaaf dengan rasa penasaran yang berganti tegang: kado itu berisi beberapa pecut baru.
Nobari gagal mengatur emosinya saat mengajar. Apa bedanya ia menggunakan pecut dan tidak kalau emosi kesalnya terhadap murid masih mendominasi? Kedua hukuman itu sama-sama memicu trauma. Luka dari kekerasan fisik dapat pudar menghilang, tetapi luka dari kekerasan verbal membekas sampai entah. Is he a good teacher on my opinion? Nope.
Women of The Weeping River (2016) 146 menit Sheron Dayoc
sumber gambar |
Film ini
Farida, Satra, Shadya
A story of blood feud where women try to undo the cycle of violence while men seek vengeance.
Synopsis
In the mountains of Mindanao, Satra, a young widow, is caught in an escalating blood feud stretching back generations. She initially seeks vengeance until meeting Farida, from a respected family of mediators, who pushes Satra’s family to reconcile with the rival clan.
But Farida herself, in her seventies, has to deal with her own deteriorating memories. In denial of her failing health, she unconsciously embraces her desire to leave this world to join her deceased lover.
When Satra confronts the loss of her only child, she is convinced that she has to stop this unending circle of violence but she faces the refusal of her family to leave the land. Inspired by Farida’s wisdom and her senses to reach out to the impossible, Satra meets up with the matriarch of the rival clan.
In the mountains of Mindanao, Satra, a young widow, is caught in an escalating blood feud stretching back generations. She initially seeks vengeance until meeting Farida, from a respected family of mediators, who pushes Satra’s family to reconcile with the rival clan.
But Farida herself, in her seventies, has to deal with her own deteriorating memories. In denial of her failing health, she unconsciously embraces her desire to leave this world to join her deceased lover.
When Satra confronts the loss of her only child, she is convinced that she has to stop this unending circle of violence but she faces the refusal of her family to leave the land. Inspired by Farida’s wisdom and her senses to reach out to the impossible, Satra meets up with the matriarch of the rival clan.
Sveta (2017) 95 menit Kazkh Zhanna Issabayeva
sumber gambar |
Sveta merupakan film berbahasa isyarat pertama kutonton. Nyaris tidak ada suara kecuali suara juru bahasa isyarat ketika menghubungkan percakapan antara tokoh tuli dan tokoh dengar. Meskipun minim dialog verbal, tetapi film berjalan lancar karena dukungan dari latar yang dipilih. Sveta bekerja sebagai supervisor di industri garmen yang mempekerjakan orang-orang tuli. Ia memiliki seorang suami dan dua anak yang juga tuli. Film ini berputar tak jauh dari lingkungan kerja dan keluarga, otomatis kehadiran suara sangat minim.
Sveta tengah dipusingkan dengan tagihan cicilan rumah yang mesti dilunasi dalam waktu dua minggu. Sementara itu, industri tempatnya bekerja sedang mengetatkan pengeluaran dan mem-PHK Sveta beserta dua belas karyawan lain. Sveta tidak serta-merta menerima keputusan pimpinan karena ia merasa telah menjadi karyawan yang loyal, ahli, dan mumpuni. Sayang, keputusan pimpinan sudah bulat, Sveta akan diganti oleh Valya, seorang orang tua tunggal. Ia kemudian menerabas ruang loker, bersalin pakaian dengan yang seksi, dan memesan taksi. Aku sempat mengira Sveta akan menjajakan dirinya karena putus asa, tetapi ternyata tidak! Taksi berhenti di sebuah jalan di mana Sveta hendak menunggu. Ketika Valya melewati jalan itu, Sveta berlari dan memukul kepala Valya dengan batu bata. Tas tangan dan tas belanjaan Valya juga tak lupa direnggutnya. Karena kejadian ini, Sveta kembali menggantikan Valya yang dikabarkan meninggal.
Di rumah, Sveta dan Ruslan, suaminya, beradu mulut karena Ruslan tampak tidak terusik dengan surat peringatan dari bank. Terlihat betul bahwa tokoh yang sangat takut kehilangan rumah adalah Sveta. Suatu malam Sveta membangunkan suaminya dan mengusulkan untuk membunuh nenek Ruslan yang berusia 92 tahun agar dapat mewarisi apartemennya.
"Itu ide gila, Sveta!"
"Yah... setidaknya kita akan mendapat dua apartemen. Dua, Ruslan, atau tidak sama sekali. Lagipula, nenekmu sudah menjalani kehidupan yang baik selama 92 tahun."
"Bagaimana pun, nenekku ini masih hidup!"
"Pikirkanlah lagi."
"Tidak! Kau gila. Ini nenekku. Orang yang membesarkan aku dengan penuh kasih sayang! Mungkin kau tak tahu rasanya sebab kau dibesarkan di panti asuhan, padahal ayah ibumu masih hidup."
Sveta yang putus asa tak kehabisan akal. Ia meracuni makanan anak-anaknya dan membuat keduanya diare. Sveta mengeluhkan kondisi ini pada Ruslan dan menakut-nakutinya apabila anak mereka harus tinggal di panti asuhan jika mereka tidak punya rumah kelak.
"Jangan kau manja mereka!" tegur Sveta.
"Kuberi tahu, hidup di panti asuhan itu sangat keras. Jika diare begini saja mereka kau manja, bagaimana nanti mereka bisa bertahan di panti?"
Ruslan yang penuh kasih sayang seketika terketuk kesadarannya saat disinggung soal anak. Ia kemudian menyetujui ide Sveta untuk meracun sang nenek. Meskipun berat hati, Ruslan menyuapi sang nenek dengan makanan dan minuman yang telah diracun. Sveta, di sisi lain, sama sekali tidak menunjukkan raut muka berat dan penuh kesedihan. Life has made her tough and heartless, I think?
Pada adegan terakhir, Sveta menasihati anak Valya di panti asuhan agar kuat menjalani hidup. Fight, bite, and never give up! Jika kau ingin hidup dengan nyaman, kau harus berjuang dengan keras.
C'est La Vie (2017) 19 menit Ratrikala Bhre Aditya
sumber gambar |
"Bukan pelukan atau tangis haru yang saya dapat, tetapi 'C'est La Vie, Nak. C'est La Vie,' dari ibu di hari kepulangan saya."
What a catching monologue, right? Film ini bercerita tentang tapol lelaki yang bersaksi mengenai tragedi dialaminya. Aku tidak mendapatkan gambaran utuh film ini karena aku terlambat memasuki ruang bioskop. Sang tapol diperankan oleh Landung Simatupang. Sementara tapol menceritakan kisahnya dengan runut, penonton bergidik cemas mendengarkan. Betapa mengerikannya kehidupan di pulau buangan.
Tatkala film berakhir dan lampu-lampu dinyalakan, tampaklah sosok Landung Simatupang di kursi yang sebaris denganku dan tiga penyintas tragedi 1965 lainnya. Semuanya berambut putih seperti Pak Landung. Suatu kehormatan segedung bioskop dengan para penyintas yang diasingkan ke pulau dan bersama-sama menonton film mengenai mereka.
C'est la vie berasal dari bahasa Prancis dan berarti itulah hidup. Judul film ini menggambarkan penerimaan dan kerelaaan atas apa yang terjadi di masa lalu dengan sangat baik. Itulah hidup. Pahit? Memang. Terima dan ikhlaskanlah. Salut untuk Mas Bhre yang kembali mengangkat kasus 1965. Persoalan ini belum selesai, angkat dan gaungkan terus! :)
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment