Oleh: Nadia Almira Sagitta
Hujan. Disertai angin yang mengembus kencang. Angin yang menumbangkan tiga pohon besar di kompleks tempatku tinggal kemarin malam.
Kedinginan melanda, membuatku meringkuk seperti anak bayi dalam gelungan kain tebal. Mencari kehangatan.
Untunglah aku sedang berada di rumah, pikirku sembari bersyukur.
* * *
Ah, pernahkah kalian berpikir?
Bagaimanalah nasibnya anak-anak jalanan
Yang telah menyandang status, "anak yatim piatu"?
Mereka...
Tidak punya rumah yang layak.
Tidak ada lampu yang menjadi pelita di kala malam menemani
Tidak ada selimut tebal yang dapat menghangatkan diri
Tidak ada teh panas tersaji di nakas kamar
Tidak ada baju hangat yang melindungi tubuh kecil mereka
Tidak ada pelukan kasih dari orangtua
Tidak ada suara lembut ibunda yang mengusir ketakutan mereka saat guntur menggemuruh...
Pernahkah kalian berpikir betapa sulitnya hidup seorang diri?
Meneruskan hidup tanpa bimbingan seorang dewasa?
Memutuskan segala-galanya sendiri
Berusaha, bekerja keras, demi sesuap nasi?
Seringkali kita melihat mereka, duduk manis di jalan-jalan
Menengadahkan tangan meminta bantuan
Belas kasihan dari kita ini
Tidak tergerakkah hati nurani untuk mengulurkan tangan?
Mencoba 'tuk memahami nelangsa mereka...
Ah, papan putih itu tegak dengan sombongnya
Bertuliskan larangan untuk memberi uang kepada mereka yang hidup di jalanan
Tega!
Apalah salahnya membantu hidup mereka dengan uang kita yang tidak seberapa?
Mengapa harus dihukum?
Jikalaulah alasannya untuk mengurangi gelandangan, mengapa pemerintah tidak berusaha untuk membantu mereka terlebih dulu?
Memikirkan masa depan mereka kemudian?
Apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah? Apakah menyediakan lapangan pekerjaan?
Mengapa mereka masih saja terlihat sengsara?
Ketika kita melihat para penyandang cacat
Tuna netra, lumpuh, kehilangan satu kaki dan berkelana dengan papan yang memiliki roda sederhana
Apalagi jika melihat kondisi yang tua renta
Hati siapa yang tidak tersentuh?
Apa yang bisa mereka lakukan?
Padat karya, hah?
Ah, merekalah para-para manusia yang tinggal menunggu maut menjemput.
Lantas, ketika kita hendak membantu, masihkah juga disalahkan dan didenda?
Coba resapi kehidupan mereka.
Coba!
Cobalah, dan kau pun akan mengerti kesulitannya.
Dan kau pun akan mengerti mengapa.
Dan akhirnya kau pun tergugu dengan nasibnya.
Wajah-wajah itu
Kusam, kentaralah tak pernah tersentuh produk kecantikan kulit
Tubuh kurus kering itu
Seakan sudah berhari-hari menahan lapar
Ketika kita datang menghampiri
Ia menatap dengan raut diam, ada jeritan hati yang tak terungkapkan
Nelangsa.
Ketika kita memberi sedekah padanya
Walau hanya berkisar limaribuan, seribuan, bahkan lima ratusan!
Ia 'kan membungkukkan badan, menerima pemberian kita dengan tangan terbuka
Kemudian mengatakan, "Terimakasih banyak, semoga Allah memberkahi."
Lalu ia tersenyum, menampakkan gigi hitam disertai banyak lubang
Senyum yang tulus
Bukankah melihatnya gembira adalah satu kebahagiaan untuk kita?
* * *
Setelah mengetahui sedikit kisah hidup mereka, masihkah pantas diri kita untuk mengeluh?
Mengenai makanan yang terhidang tidaklah sesuai selera
Mengenai kecilnya tempat tinggal kita
Mengenai iPad atau laptop keluaran terbaru yang tidak kita miliki
Mengenai kendaraan lama yang sudah itu-itu saja
Mengenai teriknya matahari yang dengan setia membuat tubuh berpeluh saat siang hari
Mengenai peer dan ulangan yang bertumpuk
Masih pantaskah?
Coba pikir, resapi, dan renungkan.
Apa mereka pernah mencicip sedikit saja apa-apa dari yang kita keluhkan?
Pernahkah mereka diantarkan oleh mobil-mobil mewah kita yang nyatanya kita keluhkan karena tak sesuai zaman lagi?
Pernahkah mereka mencoba memainkan benda elektronik seperti komputer?
Jawab mereka: belum pernah, bahkan kalian sudah ingin menggantinya dengan jenis yang baru!
Pernahkah mereka mengecap bangku sekolah?
Mungkin belum, walaupun hati meronta ingin
Kalau memang sudah tak suka bersekolah, ya sudah, tukar saja!
Tukar saja kehidupanmu dengan mereka!
Dan, mengeluhkah mereka akan panasnya sang surya?
Tidak!
Bahkan itu sudah menjadi sahabat sejati mereka
Setiap hari.
Apalagi bagi loper koran muda yang seringkali kita dapatkan di penghujung lampu merah
Menenteng jualannya ke mana-mana
Dengan harga jual rendah, hanya seribu lima ratus rupiah
Mengetuk pintu mobil satu per satu
Menjajakan koran terbaru
Yang seringkali ditanggap gelengan oleh para penumpang mobil
Karena sebagian besar telah berlangganan langsung
Diantarkan setiap hari, ke rumah pula, bukannya itu lebih praktis?
Begitulah pikir eksekutif muda yang tengah dicuri perhatiannya oleh para loper koran
Namun, mereka -si loper koran- tidaklah menyerah
Tetap saja dengan semangat '45,
Berkeliling jalan, menghampiri setiap mobil
Panas yang menyengat badan-badan mereka
Haus yang menggerogoti kerongkongan
Selalu saja menjadi kawan di saat-saat mereka bekerja
Lantas, kita sudah mengeluh kehausan saat berpuasa?
Tidakkah merasa malu?
Apalagi yang memutuskan untuk berbuka hanya karena alasan, "kehausan dan kelaparan"
Bagaimana dengan mereka?
Mereka tidak akan membeli minum jika tidak mendapatkan uang...
Segitu saja kita sudah mengeluh?
Oh, cobalah pikir ulang lagi
Acap kali saat hati ini mulai berat,
Raut muka yang menyiratkan rasa lelah,
Dan, mulut yang mungkin sebentar lagi akan menyemburkan kalimat keluhan,
Ingatlah satu hal
Pikirlah saudara-saudari kita di luar sana
Mereka bahkan mungkin mengalami derita yang lebih berat daripada kita semua.
Dan percayalah, ketika kita sadar bahwa kita terlalu tamak akan kebutuhan sedangkan ada yang lebih membutuhkan,
Niat mengeluh akan berangsur hilang dengan sendirinya...
Made by: Nadia Almira Sagitta
Seorang penulis amatir di bumi Allah :3
Comments
Post a Comment