Skip to main content

Bunda Untuk Nayla

Oleh: Nadia Almira Sagitta


“Bunda, Nayla mau nyanyi. Dengerin yah,” pintanya, menarik-narik bajuku.

“Enggak, aku lagi sibuk!”

“Sekali aja, bunda please…” ia memohon.

“Dibilangin lagi sibuk. Udah Nayla main ke sana aja!” sergahku.

“Yah, bunda. Padahal lagunya bagus.” Ia tertunduk kecewa kemudian kembali ke kamarnya.

Kalian pasti mengira aku kejam, bukan? Aku memang membenci bocah kecil itu sedari dulu, bahkan aku menolak mentah-mentah kehadirannya di hidupku. Iya, dia. Nayla. Darah dagingku sendiri.

* * *

“Nayla, pulang sama siapa?” berikut pertanyaan Ibu Risma, guru TK Nayla.

“Pulang sendiri, bu guru.”

“Nggak dijemput bunda, ya?”

“Enggak, bunda bilang, Nayla pulang sendiri saja. Bunda sibuk, katanya.” Jawab Nayla polos.

“Oh begitu.” Ibu Risma manggut-manggut sembari berpikir, sesibuk apa ibu Nayla hingga tak sempat menjemput anaknya sendiri.

Dan Nayla berjalan seorang diri, menempuh perjalanan sekitar 1 km untuk sampai di rumahnya.

* * *

“NAYLA! Kamu ‘kan yang menggambar di buku ini?” ujarku emosi, menggebrak pintu kamarnya.

“I..iya bunda. Nayla pikir, buku itu udah nggak kepake.”

“Sok tahu, kamu! Makanya, jangan iseng! Ini agenda penting, nggak perlu coretan tangan kamu!”

“Maaf, bunda.” Nayla tertunduk menahan tangis.

“Maaf, maaf. Sudah, nggak usah nangis. Cengeng banget.” gerutuku, meninggalkannya sendiri kamar. Dan Nayla meraih boneka kesayangannya, dan duduk di pojokan kamar. Bahunya bergoncang, ia menangis sesenggukan.

* * *

“Nggak! Kamu nggak boleh ninggalin aku!” jeritku padanya.

“Habis mau gimana lagi? Nikahin kamu, aku nggak bisa.”

“Kenapa nggak bisa? Harus bisa! Kamu yang udah ngebuat aku kayak gini!” air mata mulai membanjiri pipiku.

“Kamu kira nikah itu gampang? Lagian kita masih muda, dan aku masih mau senang-senang.”

PLAAAK! Tamparan kudaratkan di pipinya. Keras. Meninggalkan rona merah di wajahnya.

“Kamu kira aku nggak mau nikmatin masa mudaku? Kamu kira aku siap menjalani semuanya, hah? Kamu harus tanggung jawab!” paksaku, tak menyerah.

“Maaf, mungkin kamu nganggep aku pengecut, Tan. Tapi, aku nggak bisa...” ucapnya kemudian perlahan meninggalkanku.

“WHAT? Sependek itukah jalan keluarnya? Reihan! Mana janjimu kalau kamu bakal nikahin aku? Mana?”

* * *

“Ibu Intan, ada telepon untuk Anda.”

“Oh, tolong sambungkan segera.”

“Baik, bu.”

“Halo, dengan Ibu Intan? Bu, ini saya Maida, tetangga ibu. Nayla kecelakaan, Bu.”

“Hah? Di mana?”

“Sekarang Nayla ada di rumah sakit Harapan, Bu.”

“Oh, baiklah, nanti saya akan pergi ke sana. Terima kasih infonya.” Aku meletakkan gagang telepon. Ckckck, anak itu tidak berhenti-berhentinya mengusik hidupku.

Sesampainya aku di rumah sakit, aku menemukan Ibu Risma, guru Nayla duduk di sampingnya. Mukanya pucat, sangat khawatir.

“Anda… Ibu Intan? Mamanya Nayla?”

“Iya. Kenapa?”

“Kenapa Anda tega membiarkan Nayla pulang seorang diri?” tanyanya tegas.

“Lah, dia kan sudah besar. Bisa jalan sendiri.” tanggapku santai.

“Besar? Dia masih 5 tahun, Bu! Sungguh, ada dendam apa Anda sama Nayla?”

“Bukan urusan kamu.” Aku memalingkan muka daripadanya.

“Saya sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Anda. Dia itu anak Anda.” Ujarnya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu, keluar meninggalkanku berdua dengan dia. Anak katanya? Lalu, apa peduliku? Dia anak yang menyusahkan! Aku melengos.

* * *

Kubuka album biru

Penuh debu dan usang

Kupandangi semua gambar diri

Bersih kecil belum ternoda…

Hari ini, aku sendirian di rumah. Nayla masih tergolek lemas di rumah sakit. Tidak mungkin kan aku menungguinya selama 24 jam penuh? Hidupku kan bukan hanya dia saja. Aku mulai membereskan rak yang ditumpuki oleh buku-buku akuntansi dan album masa kecilku. Ada fotoku digendong Mama. Mungil dan menggemaskan. Ma, Intan rindu sama Mama… Kubalik lembaran selanjutnya. Di situ ada foto Mama sedang menyuapiku. Juga ada saat ia bermain-main denganku. Aku bisa menemukan wajah Mama yang begitu sabar dan penuh kasih dalam membesarkanku. Lantas, mengapa aku tak bisa menerapkan hal yang sama kepada Nayla? Ah, ini hidupku. Tentu saja berbeda. Lagipula, aku tak menginginkan Nayla muncul di hidupku. Dia hanya mengobrak-abrik kisah hidup dan kisah cintaku.

* * *

Ah, hari ini aku tidak lagi sendirian di rumah. Kebebasan itu hanya kunikmati sekejap mata. Nayla telah kembali sehat seperti sediakala. Ckck, bahkan sekarang ia kembali meracau.

“Bunda, bunda. Besok, di sekolah Nayla ada acara lho. Bunda datang ya? Nayla disuruh nyanyi sama ibu guru. Katanya suara Nayla bagus,” ajaknya padaku.

“Enggak ah, males. Ngapain coba? Mending di rumah nonton tv.”

“Yah, Bunda. Ayo dong, nonton Nayla. Semua teman-teman Nayla ngajak orangtuanya, lho. Jadi, Nayla mau ngajak Bunda juga. Bunda mau ya?”

“Itu kan mereka, bukan aku. Kalau aku nggak bisa, gimana?”

“Sekaliiii aja, bunda. Ya?” pintanya terus memohon.

Huh, anak kecil pengganggu. Padahal besok aku sedang mengambil cuti. Lelah dengan rutinitas sehari-hari. Masakan harus diganggu dengan acaranya tak penting itu? Sekedar mengakhiri pembicaraan, aku mengangguk.

* * *

Dahulu penuh kasih

Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku

“Ng, Ma? Intan pengen bicara. Tapi, Mama jangan marah, ya?”

“Mau bicara apa, sayang? Sini, duduk.”

“Intan… Intan… ng…”

“Ada apa?”

“Intan hamil, Ma.”

“Ah? Kamu nggak beneran kan?”

“Ng… Intan nggak bohong, Ma. Reihan yang ngelakuin semuanya sama Intan.”

“Apa? Kamu hamil?” suara yang lebih berat mengagetkan kami berdua. Suara Papa.

“Kenapa kamu baru kasih tahu? Sudah jalan berapa bulan, Tan? Jawab!”

“Ng, 3 bulan, Pa.”

“Memalukan! Sekarang cepat kamu kemasi barang kamu, pergi dari sini!”

“Apa? Pa, ini bukan sepenuhnya salah Intan, Pa. Jangan seperti itu.” bujuk Mama, membelaku.

“Tidak. Ia sudah mencemari nama baik keluarga kita! Sekarang kamu keluar!”

Aku tertunduk, menatap lantai kamar. Mataku merah, mencoba menahan tangis.

“Tidak boleh, kita harusnya menemani Intan, bukan malah memojokkannya seperti ini!”

“Itu salahnya! Dan, kita harus menghukumnya.” Papa bersikeras. Ia memang orang yang tegas dan keras kepala.

“Kalau begitu aku ikut dengan Intan.” Mama berkata kemudian.

Aku terperangah, Mama mulai terseret dalam masalahku, kini.

“Ma… biarkan Intan sendiri yang menanggungnya. Intan yang salah…”

“Tidak, Mama harus tetap ikut dengan Intan. Ibu macam apa yang meninggalkan anaknya sendiri?”

Deg! Ingatan masa laluku berhenti sampai di situ. Aku tertegun. Termasuk golongan ibu macam apa aku? Meninggalkan anakku seorang diri di rumah sakit saat itu. Ya Tuhan. Ternyata aku memang seorang ibu yang jahat.

* * *

“Penampilan selanjutnya, sebuah nyanyian berjudul “Bunda” yang akan dibawakan oleh Putri Nayla.”

Aku melihatnya, berjalan ke atas panggung dengan kaki mungilnya, berdiri di sana memegang mic.

“Lagu ini kunyanyikan untuk Bunda-ku tersayang. Bunda itu orang yang baiiiik sekali. Bunda, dengerin Nayla nyanyi ya?” (Dia nggak mencoba berbohong, kan?)

Piano mulai berdenting pelan mengiringi irama lagu Nayla.

Aku mendengarkan liriknya dengan baik.

Kubuka album biru

Penuh debu dan usang

Kupandangi semua gambar diri

Bersih kecil belum ternoda

Dahulu penuh kasih (benarkah? Adakah kasih sayang yang ia rasakan dariku?)

Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku (dimarahi, dibentak, dipukul… itulah riwayatnya semenjak ia besar di tanganku)

Kata mereka diriku selalu dimanja (aku bahkan tak pernah memanjakannya, malah berusaha membuatnya mandiri. Hidup tanpa bantuanku)

Kata mereka diriku selalu ditimang (selalu? Aku hanya melakukannya saat ia bayi. Itupun dengan unsur keterpaksaan)

Oh, bunda ada dan tiada dirimu ‘kan selalu ada di dalam hatiku…

Ya Tuhan, aku benar-benar ditegur lewat lagu itu.

Selama lima tahun ini, aku belum pernah membuat Nayla bahagia.

Selama lima tahun ini, kuhabiskan ‘tuk bergelut di pekerjaanku sendiri. Tak memedulikannya.

Selama lima tahun ini, aku selalu mengabaikannya.

Selama lima tahun ini, aku senantiasa memarahinya, bahkan mungkin bisa membuat jiwanya tertekan.

Ternyata selama lima tahun ini, aku bukanlah sesosok ibu yang patut dibanggakan.

Aku terlalu egois dengan duniaku sendiri.

Selalu saja ngotot bahwa semua perubahan yang ada di hidupku adalah salahnya.

Karena kehadirannya, karena kelahirannyalah aku terpaksa menjalani hidup seorang diri.

Tanpa Mama dan Papa, tanpa Reihan.

Semua menghilang dari hidupku.

Kepergian Mama karena tidak terbiasa hidup di lingkungan yang cukup sederhana, adalah kehilangan yang paling menyakitkan.

Dan kala itu, aku juga menyalahkan Nayla.

Padahal, semua ini bukanlah salah Nayla sepenuhnya.

Ini salahku, salah Reihan juga.

Andai saja saat itu aku tidak melakukan hal yang bodoh, mungkin aku tak meratapi nasib seperti saat ini.

Toh, nasi sudah menjadi bubur.

Mau tidak mau aku harus merawat Nayla. Seonggok daging yang mewarisi sifatku. (Hereditas :P)

Seharusnya aku membesarkannya dengan kasih sayang.

Sama seperti apa yang telah Mama lakukan terhadapku.

Bukan malah menyalahkannya setiap saat.

Ya Tuhan, maafkan aku.

Seusai menyanyi, Nayla turun dari panggung lalu seketika menghambur dalam pelukanku.

“Nayla sayang sama Bunda,”

“Bunda… juga sa…yang sama Nayla.” ucapku terbata-bata.

Itulah pertamakaliku memanggil diriku sendiri dengan ucapan Bunda. Bunda untuk Nayla.

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun