Setelah sekian lama kita tidak jumpa, kau di sana dan aku di sini, aku malah memimpikanmu dua hari lalu. Stasiun kereta. Ya, kau datang ke daerahku bersama rombonganmu. Aku, entah bagaimana, telah mengetahui kedatanganmu dan otomatis melangkahkan kakiku menuju stasiun. Ada rasa yang memaksaku untuk bertemu denganmu. Mengapa? Bukankah kita sudah lama berpisah? Mengapa sekarang ingin menguak luka lama? Itu yang kupertanyakan terus dalam batin. Hei, aku menemukanmu! Di sana, tersenyum pada kelompokmu. Senyum tidak simetris persis seperti yang kukenal beberapa tahun silam. Aku memandangimu dari seberang, lalu kau menolehkan kepala membuat mata kita beradu. Sesaat, aku terkesiap, belum siap dengan tatapanmu. Biarkan aku saja yang mengamatimu, kau tidak perlu begitu pula! Oh, tetapi sudah telanjur. Kita sudah menangkap keberadaan masing-masing. Diam dan sunyi senyap. Mulut terkatup, tak ada yang berani membuka pembicaraan. Aku mencoba meresapi suatu masa yang telah lalu. Ada kenangan di sana, manis dan pahit. Aku yakin, pikiranmu pun pasti sedang melanglang buana ke masa di mana kau dan aku menjelma kita. Tiba-tiba, keheningan itu diusik oleh kawan seperjalananmu. Kau kembali mencurahkan perhatian pada mereka, mengalihkan pandanganmu, dan kembali tertuju pada mereka. Aku diam lalu beranjak dari situ. Kuarahkan langkah menuju restoran cepat saji, ada kawan yang menungguku di sana. "Hai, Nad! Ayo duduk, kamu pesan apa?" sapanya. "Eng, entahlah. Itu...ada apa?" tanyaku menunjuk sekumpulan remaja berbaju rapi menaiki tingkat atas. Tidak biasanya. Ada apa di atas sana? "Oh, sedang ada perlombaan di atas. Kamu mau lihat? Ke atas saja, aku di sini menjaga tas." Tak perlu disuruh dua kali, aku naik ke atas dan mendapati aula utama. Restoran ini punya aula? Wah, aku baru tahu. Ruangan itu penuh sesak. Remaja-remaja itu berjejalan. Semua mengoceh dan tampak sibuk. Ah, lomba itu. Aku pernah mengikutinya dulu. Aku pernah larut dalan euforia bertanding. Aku pernah...tunggu! Bukankah kau pun pernah? Bukankah kita pernah berada dalam lomba yang sama? Apakah itu alasanmu datang kemari? Akankah kita berjumpa di tempat ini? Aku keluar dari aula dan pamitan pada temanku, "Hei, kau jadi makan atau tidak?" Kugelengkan kepala menjawab pertanyaannya sembari membuka pintu restoran. Aku kembali ke stasiun, dengan harapan engkau masih ada di sana. Ternyata tidak, kalian sudah meninggalkan tempat itu. Tetiba, aku pusing. Semua ini terlalu mendadak. Haruskah aku kembali ke restoran? Haruskah aku menemui pemuda masa lalu? Haruskah, haruskah? Ah, kuputuskan untuk pulang. Ke kosan.
Aku tak tenang. Sedari tadi, aku bergerak membolak-balikkan posisi tubuh. Baring ke kiri, ke kanan, berdiri, duduk di kasur, kemudian berbaring lagi. Aku seakan dihantui oleh sesuatu. Ya, dihantui oleh masa lalu kita. Aku mesti berjumpa denganmu, mesti! Kuraih sepatuku dan bergegas menuju restoran cepat saji itu lagi. Semoga kali ini aku belum terlambat. Semoga kalian belum pulang. Matahari telah kembali ke peraduannya, langit dihiasi oleh warna biru tua. Hari sudah mulai gelap dan malam. Aku kekeuh ingin berjumpa denganmu. Memanfaatkan kesempatan yang entah kapan akan datang dua kali. Kutemukan restoran itu sepi. Tidak ada suara semarak dari lantai atas. Jangan-jangan...perlombaannya telah usai? Kulongokkan kepala ke aula dan benar saja, hanya tersisa dua orang yang sibuk menyapu dan merapikan bangku. Aku lemas, andai saja tadi aku tidak pulang... Aku mesti ke mana sekarang? Stasiun?
"Hahahah!" Kufokuskan pendengaran, ada keramaian beberapa meter di ujung sana. Aku yakin ada tawamu di sana. Kupercepat langkahku menuju stasiun. "...Hai." kuberanikan diriku menyapamu terlebih dahulu. "Eh, hai! Nadia." Alismu naik, kau tersenyum kikuk. Kau terkejut, aku tahu. "Eng, tadi ikut lomba?" "Iya, mewakili universitas. Alhamdulillah menang," jawabnya. "Oh ya? Selamat kalau begitu." Kutarik dua garis bibir membentuk lengkung senyuman simetris. Lalu kita terdiam dan mengarahkan pandangan ke arah yang berbeda. Kawan-kawanmu berjalan di depan. Kau sengaja melambatkan langkah untuk berjalan beriringan denganku. "Aku mau minta maaf." ucapku tanpa tedeng aling-aling. Tak kuberinya kesempatan untuk menanggapi, "Maaf untuk kejadian yang dulu. Mungkin masih meninggalkan bekas padamu. Maaf, sungguh. Aku...aku...hanya bermaksud..." "Baik," kau memotong pembicaraanku. Kemudian kau menatap nanar. Aku hanya bisa menangkapnya sejenak lalu menunduk. Dadaku sesak, terhimpit rasa bersalah. "Tidak apa-apa, Nad. Aku sudah beranjak meninggalkan masa lalu. Kaulihat?" Ya. Aku melihatnya. Aku melihat betapa kau sudah berubah lebih baik, aku lihat engkau sukses meniti hidup di kota seberang. "Ya. Aku ingin...mengembalikan ini." Kuangsurkan sesuatu dari dalam tas selempangku. "Mengapa?" Kau menatap buku itu. "Karena dalam buku ini ada pula hakmu di dalamnya," jawabku. "Ambillah, buku itu sudah terlalu lama bersamaku." Aku tak tahu apakah ini keputusan terbaikku atau malah yang terburuk. Satu yang jelas, aku tak sanggup menyimpannya lebih lama lagi. "Terima kasih," hanya itu ucapmu. "...atas buku ini dan atas semuanya, Nadia. Aku balik dulu," Kawan-kawanmu melambaikan tangan padamu, memintamu agar segera menyusul mereka di sana. Aku menganggukkan kepala dan ikut melambaikan tangan. Salam perpisahan. Kau berjalan, terus berjalan, dan tidak menengok lagi. Ah, lebih baik begini. Benarlah adanya bahwa masa lampau harus kita tinggalkan sejauh-jauhnya di belakang. Tidak ditengok lagi.
Comments
Post a Comment