sumber gambar |
Semalam aku menghadiri pembukaan pameran Representasi di Pendhapa Art Space (PAS). Ini kali pertamaku ke sana yang membuatku menyadari sesuatu, "Lokasinya cukup jauh, tetapi penataannya indah jadi tidak apa-apa." Representasi adalah hasil kerja 27 perupa yang berpayung pada satu tema: penggambaran realita, baik dituangkan secara abstrak maupun realis, begitu kata Suwarno Wisetrotomo, sang kurator.
Acara pembukaan pameran ini benar-benar niat sebab pameran kali ini juga bertindak sebagai peresmian ruang galeri baru di Pendhapa Art Space. Katalog lukisan dicetak rapi dan baik.
Katalog lukisan |
Pengunjung dipersilakan duduk untuk menikmati pertunjukan musik gamelan dan tari tradisional. Gosh, I'm mesmerized by their performance! Memang sudah lama aku berangan-angan memainkan karawitan Jawa di suatu pementasan. Aku hanya sempat mengambil mata kuliah Karawitan Jawa selama satu semester dahulu. Kalau kamu punya informasi mengenai kursus karawitan di Yogyakarta, segera kabari aku, ya! Nah, kembali lagi ke suasana acara. Kali ini banyak sekali seniman senior yang kudapati hadir, tetapi aku tidak tahu namanya. Eh, aku ketemu Butet Kertaradjasa, deng, di barisan pengunjung. Lantas aku menarik kesimpulan banyaknya seniman senior dari mana? Dari perawakan mereka dan rambut yang memutih, hehe. Kurasa banyak pula pengajar dan mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta yang hadir di sini.
Setelah sesi pidato direktur utama PAS, kurator, dan wakil direktur SRITEX, pengunjung dipersilakan memasuki galeri baru yang terletak di lantai dua. Sayangnya, kapasitas galeri tidak mampu menampung berjubel orang maka pengunjung diminta untuk bergantian. Sembari menunggu, para pengunjung dapat mencicip hidangan yang disediakan seraya menikmati pertunjukan musik. Lumayan, kan, kalau kamu belum mengisi perut. Penyediaan makanannya juga niat, seperti kondangan, hahaha. Ada mi ayam, soto, es krim, nasi kucing, juga kudapan kecil seperti pisang bakar, kacang kulit, dan ubi bakar. Yaaa, menggugah selera sekali, ya? :P
dok. pribadi |
Di area taman, aku bertemu kenalan selama di Yogyakarta. Kak Akmal namanya. Ia datang bersama teman-temannya yang berasal dari Sulawesi Selatan. Tampaknya mereka sedang S-2 di sini, aku juga tidak sempat menanyai mereka satu per satu. Keki juga, sih, karena aku perempuan sendiri. Akan tetapi, mereka baik dan ramah, kok. Senang juga ketemu orang Makassar. Selain mereka, aku berkenalan dengan beberapa orang lagi. Dua di antaranya tetiba menghampiriku saat sedang mengamati lukisan yang menggunakan mix media. Mix media itu biasanya karya yang menggabungkan beberapa media tertentu, tak hanya cat. Bisa ditambah kertas, benang rajut, digital print, dll. Eh, aku ditanya, "Apa coba mix media-nya, Mbak?" Hahaha, aku cengo dulu karena tidak siap. Lukisan di hadapanku berjudul "Struggler" yang menampakkan seorang wanita menggendong sebakul pisang. Lukisan ini seolah-olah digital print sebab mirip foto, tetapi bila diperhatikan ada garis lukisnya juga. Dari pembicaraan singkat itu, tahu-tahu aku ditawarkan ikut klub percakapan bahasa Inggris mereka. Ya atuhlah, aku nggak jago. Aku tenggelam di penerjemahan karena terpaksa saja. But anyway, yeah, we talked a lil bit more.
Cahaya Di Atas Stupa oleh Yuli Kodo |
Pecinta Tanaman oleh Susilo Budi Purwanto |
Aku lalu pamit menuju ruangan kedua. Saat mengamati lukisan yang menurutku menarik karena tarikan garisnya halus, seperti apa ya... seperti bulu boneka yang bisa dipegang, tetiba seorang kakek menimbrung, "Teknik lukisan ini teknik masuk angin."
"Hah, namanya betul begitu, Pak?"
"Hehe, tahu kenapa? Soalnya ini dikerok. Perkenalkan, saya seniman juga. Sekarang dosen."
Beliau bertanya-tanya tentangku, menceritakan kehidupannya, lalu memberi nasihat, "Mari mengerjakan apa yang kita senangi. Menjadi pelukis itu bukan hal mudah. Berhari-hari menghabiskan waktu di kanvas dengan kaleng cat, lalu ternyata lukisan kita tidak laku, lantas anak-istri mau makan apa? Cat? Sulit, tetapi ya dalami terus dan usaha terus."
Aku terkesima.
"Biasanya passion itu didapatkan dari gen. Kalau orang tuanya dokter, anaknya pun ada yang jadi dokter. Adik sastra, apa di keluarga juga ada?"
"Oh tidak, Pak. Di keluarga hanya saya yang suka dan mendalami sastra."
"Wah, alhamdulillah. Hebat itu. Teruskan."
Emaaaak, rasanya seperti dibasuh air suci! Senang, kan, dipuji dan disemangati? Pak, masyaAllah, nasihatmu datang di waktu yang tepat! Semoga Allah membalas kebaikanmu. Semoga engkau senantiasa beramah-tamah dengan orang baru dan terus menebarkan inspirasi. Si Bapak seniman kemudian melanjutkan bercerita dengan anak-anak Makassar. Aku tidak terlalu memperhatikan karena sibuk melihat lukisan lain. Setelah Bapak itu pamit, beberapa teman baruku bertanya.
"Katanya kamu penulis, ya?"
"Eh, ng, saya senang menulis, tetapi belum menulis..."
"Bagaimana? Penulis, tetapi belum menulis?"
"Maksudnya, saya senang menulis, tetapi belum sampai menulis buku."
"Ooooh. Ini kamu bisa, lho, coba buat tulisan untuk mengapresiasi karya seni."
"Nah iya! Itu ingin sekali, tetapi belum berani."
"Wah, kenapa? Kamu penulis, kan?"
"Aduh, makanya saya tidak berani melabeli diri saya sebagai seorang penulis. Berat. Saya belum apa-apa. Belum bisa buat artikel serius. Tulisan saya, ya, fiksi saja."
"Dicoba saja. Kapan-kapan kalau saya pameran, mau jadi penulisnya?"
"Eh, hah, gimana? Waduh, tidak berani, Mas. Saya bukan anak seni."
"Kenapa memangnya harus seni?"
"Lho, ya, saya tidak mendalami ilmunya. Nanti tulisan saya asal bunyi dan tidak menggambarkan lukisan dengan baik."
"Anak sastra juga punya peluang menjadi penulis seni rupa. Tulis saja apa yang terlintas ketika memandang satu lukisan. Sajikan."
"Begitu, ya? Saya belum pernah fokus menulis tentang satu karya, sih, paling hanya secara keseluruhan dan cerita pengalaman datang ke pameran saja. Semoga suatu saat saya berani mengulas lukisan. Ini lagi banyak baca kurasi penulis di tiap pameran saja."
Ekspresi Wajah Soekarno oleh Totok Buchori |
Ibu, Pahlawan Sejati oleh Dunadi |
Setelah berbincang dan berfoto bersama, aku ke balkon menunggu datangnya Gojek. Di sana, aku menyadari ada satu pengunjung yang beberapa kali memperhatikanku. Tampaknya ingin mengajak bicara. Aku cukup sering bertemu dia di beberapa pameran lalu. Eh, benar, akhirnya dia mengajak berkenalan.
"Mbak ISI angkatan berapa?"
"Eh, saya bukan ISI, Mas. Saya Sastra Indonesia Universitas Indonesia. Di sini kebetulan sedang bekerja."
"Oh, dari Jakarta? Di Yogyakarta sudah berapa lama, Mbak?"
"Baru empat bulan. Masnya asli Yogyakarta? Seniman lulusan ISI juga, ya?"
"Saya di Yogyakarta sejak 1999. Iya, seniman juga, tetapi bukan ISI. Autodidaktik saja."
"Waaah, keren. Saya pernah melihat Mas di beberapa pameran. Pernah berpameran di mana atau akan berpameran di mana dalam waktu dekat?"
"Saya jarang berpameran di sini. Baru-baru ini berpameran di Malaysia."
Gila, demi apa berpameran di Malaysia. Lukisan dia mestilah bagus! Kami sempat bertukar pos-el dan dia berjanji akan mengirimkan beberapa contoh karyanya padaku.
Malam kemarin terbilang cukup mengesankan. Aku dapat banyak kenalan, nasihat, serta sindiran secara tidak langsung. Penulis, kok, tidak menulis ini? Sebenarnya, sebagai penulis kita bebas menuliskan apa saja yang kita mau. Tidak harus memenuhi ekspektasi orang-orang atas dunia kepenulisan itu. Akan tetapi, aku mengambil pesan di baliknya. Aku harus mengeksplorasi tema dan jenis tulisan. Kalau bisa jangan fiksi melulu dan cobalah hal-hal baru. Mana tahu aku mampu dan ternyata jatuh suka. Intinya, tekuni dan bersikap totalitaslah untuk hal yang menjadi kegemaranmu. Keluar dari zona nyaman untuk mengembangkan diri juga termasuk bagian dari totalitas, menurutku.
Jika kalian ingin mengunjungi pameran ini, silakan saja datang ke Pendhapa Art Space pada hari Senin--Sabtu pukul 10.00--18.00. Pameran berlangsung hingga 18 Mei 2017.
Selamat ber-Minggu pagi!
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment