Skip to main content

Surat Balasan Untuk Dillah

sumber gambar

Allahu, membaca tulisan kamu, aku terharu, tersentak, dan terlempar ke masa lalu. Terima kasih sudah mengingat detail pertemanan kita sedari mula, ya, Dillah. Dillah, kalau kamu menganggap aku sebagai saksi hijrahmu maka kamu adalah saksi hijrahku yang mengarah ke lembah curam. Aku jatuh sekali, aku jauh sekali. Membaca tulisan kamu, aku terheran mengapa aku bertransformasi dari Nadia yang itu menjadi Nadia yang ini. Nadia yang dulu kukuh dengan prinsipnya menjadi Nadia yang mudah goyah dan terlepa. Terima kasih sudah menjadi orang pertama kali yang menegurku tatkala aku mengunggah fotoku--saat itu mengenakan celana--beberapa hari lalu. Aku tersinggung saat itu, tetapi... kurasa kamu benar juga. Semua temanku yang memprotes aku mengenakan celana kurasa ada maksudnya. Kurasa hanya bersikap baik dan...perhatian. Maaf telah salah kaprah.

Kita dulu pasangan galau yang solid, ya? Kita hobi bertukar perkembangan cerita cinta. Sampai ketika... kamu teguh tidak lagi mau termakan perkataan laki-laki entah dipelopori kejadian apa. Sejak saat itu, setiap orang yang aku suka tampak salah di matamu. Aku berbunga-bunga, sementara kamu skeptis berat padaku. Jujur saja, aku kehilangan. Ah, kepada siapa lagi aku harus mengeluarkan kegelisahan jiwa? Aku ingat sekali suatu sore di TM Bookstore,  aku mengeluhkan  dunia ini tidak adil. Kenapa aku...yang sibuk jatuh cinta dihakimi berbagai pihak? Kenapa aku...yang hanya dekat sebatas itu mendapat nasihat sana-sini? Seolah aku makhluk yang paling bersalah. Kamu yang saat itu menemaniku sontak marah mendengar pendapatku, "Kamu kenapa, sih! Kamu semestinya bersyukur nggak pernah merasakan kesalahan yang orang lain rasakan, loh kok sekarang kamu minta supaya bisa menjalin hubungan? Salah, Nad. Kenapa, Nad?"

Iya, aku tahu aku meminta hal yang sama sekali salah, tetapi saat itu merasa aku nggak punya siapa-siapa. Hanya satu orang itu yang selalu ada dan siap diajak bercerita kapan saja. Oh, dear. Aku melakukan kesalahan yang besar rupanya. Memang benar, ujungnya aku menangis juga. Patah lagi, koyak kembali.

Setiap aku patah hati, kamu nggak bilang, "Tuh kan. Kata aku juga apa." Kamu cuma senyum dan mengingatkan agar aku nggak terjerumus lagi. Meskipun aku mengulangnya berulang kali, terima kasih tidak pernah pergi, Dillah. Terima kasih selalu percaya aku berhak mendapatkan seseorang yang sepadan, yang lebih dari semua sosok yang pernah kusuka. Mengenai perubahanku, semoga aku bisa kembali ke diri sendiri yang dahulu, yang kamu kenal dan telah menginspirasi kamu.

Dear, berhati-hatilah menjatuhkan perasaan sebab ia mampu mengubahmu menjadi sosok yang benar-benar lain. Ia berani membuatmu melanggar segala prinsip. Berani membuatmu menunda segala rencana. Jangan terburu-buru jatuh cinta, dear. 

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun