Skip to main content

Bermain Definisi

dok. pribadi
jepretan Augita P. R.


Di sebuah kafe sepulang kerja, Maharani memilih tempat duduk di dekat jendela. Kafe senja itu sepi. Barangkali menu yang ditawarkan memang tidak cocok untuk pundi-pundi masyarakat Yogya. Ia sendiri hanya memesan kopi, lain tidak. Baru beberapa kali seruput, ia meluapkan tangis di sana, tak peduli pada pelayan yang curi-curi pandang penasaran. Di tengah-tengah, ia menelepon sahabatnya.

"Menurut kamu apa definisi cinta?"
"Ng, bagiku cinta itu rasa nyaman nan penuh bunga yang mendorong penikmatnya untuk merajut masa depan bersama."
"Definisi kamu manis sekali."
"Ah, paling kau mencibirku di sana."
"Hm, definisimu manis dan aku suka, tetapi terlalu banyak variabelnya. Sederhanakan. Buat definisi yang mencakup seluruh jenis cinta."
"Ya ... definisiku memang khusus cinta kepada pasangan hidup."
"Itulah. Ayo, susun lagi!"

Setelah asyik dengan definisi cinta, nikmat, dan musibah, perasaan Maharani jauh lebih tenang.
"Terima kasih, ya, sudah melontarkan pertanyaan. Aku sudah berhenti menangis."
"Kamu seperti anak TK."
"Biar. Anak TK itu jujur. Kalau sakit, ya, menangis."
"Bukan itu poinku. Anak TK menangis ketika mainannya diambil. Ia bisa mendadak senang lagi kalau mainannya dikembalikan."
"Lantas?"
"Dalam hal ini, mainanmu adalah berpikir. Mungkin kamu galau karena kurang melatih otak saja."
"Whoa! Maksudmu, aku jarang berpikir selama jatuh cinta?"
"Sakit hati itu abstrak, cuma persepsi," lanjut Ruslan mengabaikan pertanyaan Rani sebelumnya.
"Bagaimana mungkin kau bilang sakit hati itu persepsi, sementara sakitnya nyata?" 
"Nyata itu ketika semua orang dapat mengindera hal tersebut. Jelas sekali sakit hati tidak berada di alam nyata."
"Kau bilang begitu karena sakit hati hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalami?"
"Semacam itulah. Ubah sedikit persepsimu soal cinta dan sakit hati. Jangan lupa banyak berpikir. Ran, kita sambung lain kali, ya? Aku ada urusan."
"Siap. Terima kasih, Lan."

Banyak berpikir katanya, batin Maharani. Apakah aku juga kurang sibuk? Hhh, kurang sibuk apalagi aku? Akan tetapi, kalau masih bisa memikirkan hal satu ini, pastilah aku kurang berkegiatan. Maharani sibuk berkontemplasi. Cepat-cepat ia menandaskan kopinya lalu beranjak dari sana. Kafe itu terlalu menguarkan aroma kegalauan. Yang bertekad melupakan harus menghindari faktor-faktor pemancing kenangan, bukan? Jangan terlena dalam pusaran.

Yogyakarta, Desember 2017 

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun