Skip to main content

Cerita Pendek (Benar-benar pendek)

Oleh: Nadia Almira Sagitta

Malam itu, aku diteleponnya. Tumben.
“Halo? Eh, besok mau nggak jalan-jalan?” tawarnya.
“Jalan-jalan? Mau, mau, mau! Kok tumben?”
“Lah, kan janji saya yang waktu itu.” Katanya mengingatkan.
“Hah? Janji? Oh, yang itu? Astaga, masih kau ingatnya…”
“Ya sudah, besok ya? Jam sepuluh saya sudah ke rumahmu.”
“Iya, iya, makasih!” ucapku tertahan, perasaan bahagia ini sudah ingin saja membuncah sedari tadi. Tak dapat lagi kutahan-tahan. Aku mendapati diriku, tersenyum-senyum sendirian.
Esok paginya, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Hari itu Minggu, jadi wajar saja kalau aku bermalas-malasan di kamar. Tapi tidak untuk hari ini. Hari ini kan aku mau jalan-jalan. Aku sudah selesai mandi, sudah rapi. Aku menunggunya sudah seperempat jam yang lalu. Dia di mana ya? Aku mencoba menghubunginya dengan mengiriminya pesan. Dan ia membalas,
“Maaf, masih di jalan. Mungkin 20 menit lagi sampai. Maaf terlambat.”
Dan aku tetap duduk menunggunya datang, berkunjung ke rumahku. Saat ia datang, aku berjalan menyongsongnya, lalu kami berdua naik becak. Ia berbadan kurus, tak sepertiku yang lumayan bongsor. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku berceloteh. Meledeknya, mencoba melucu, banyak hal. Dia dengan setia mendengarkanku, memberi respon seadanya. Dia diam tak banyak bicara. Ah, bosan juga.
“Eh, gantian dong. Kamu lagi yang cerita.” Pintaku.
“Tidak tahu apa yang mau saya ceritakan. Saya hanya mau dengar ceritamu yang seru itu.”
Wah, pusing juga. Tapi, daripada diam? Maka, akupun membuka mulut, melanjutkan ceritaku.
“Aku, haus.”
“Tunggu di sini, saya ke sana dulu,” ia menunjuk ke salah satu tempat penjual minuman. Sesuai katanya, aku menunggunya di sini.
“Hey, maaf lama. Nih!” Aku dibelikan cola float olehnya.
Dia bertanya satu pertanyaan, “Eh, kamu lagi nda M, kan?”
Akupun heran namun menjawab, “Kenapa?
Dia berujar, “Nanti kan bisa kena kista? Jaga-jaga saja.”
Satu poin plus untuknya, perhatian…
“Mau nonton ini kah?” tanyaku.
“Iya, film apa yang bagus ya?”
“Aih, saya juga tidak tahu. Apa saja deh,” jawabku pasrah. Film ber-genre apapun itu, asalkan bisa jalan sama kamu, saya sudah bahagia, ucapku dalam hati.
Dan, dia memilih salah satu film action, yang tidak kuketahui juga apa, saya hanya menurut. Kami mulai memasuki ruangan gelap gulita, itulah bioskop. Tak lama, layar lebar di depan kami, mulai memutar film yang sedang in saat itu. Sungguh, filmnya cukup menegangkan, menurut saya. Apalagi, saya saat itu sudah tak kuat lagi menahan kantuk, mata saya hanya membuka sebentar, lalu menutup lagi. Begitu seterusnya. Hingga tak sadar, saya tertidur. Saya tertidur pulas di bahunya. Ya, bahu cowok itu, tidak ada maksud apa-apa. Tiba-tiba, kepalaku bergerak dengan sendirinya, dan bahuku bergoncang. Ah, ternyata ia membangunkanku.
“Eh, bangun, bangun. Saya kira tadi kamu pengen ke toilet.”
“Ng? Oh iya.” Aku mengucek mataku, mengacak rambutku, dan mengusap wajahku, masih tak sadar sepenuhnya. Aku tadi tidur enak sekali…
Dan, dia pun menemaniku ke toilet, padahal aku tahu, film saat itu sedang berjalan seru-serunya, mungkin pada titik klimaks. Namun, dia rela saja mengorbankan filmnya demi menemaniku ke toilet. Menemaniku yang dengan sangat tidak sopannya tertidur di tengah acara. --“
Setelah capek berkeliling, perut saya berbunyi, meminta makan.
“Lapar ya?” Dia menatapku.
Aku hanya mengangguk. Memegangi perutku yang mulai terasa perih…
“Tuh ada Texas, singgah dulu yuk.”
Akhirnya kami berdua makan sama-sama.
Dengan menu yang sama, nasi ayam. Ketika tanganku meraih botol sambal, ia menepis jemariku.
Jangan pake sambel!”
Heran, “Kenapa sih?”
Dia mengerutkan muka da berkata, “Katanya kamu lagi sakit maag… Tidak boleh makan sambel. Pedis.”
“Tapi saya tidak bisa makan kalau tidak pakai sambel….”
“Ya sudah, sini saya saja yang kasih sambalnya.”
Dia meraih botol merah itu dan menuangkan isinya ke piringku, namun itu terlalu sedikit!
“Ah, sedikit sekali,” keluhku.
“Begitu saja, tidak boleh terlalu banyak.”
“Ahhh, nggak mau! Udah, saya aja!”
Saya merebut kembali botol itu dan menuangkan lebih banyak lagi sambel sesuai yang kuinginkan. Dia hanya kesal melihatku, dan tiba-tiba saja ia mengambil ayamnya, dan menaruhnya di atas sambalku… Dia mengambil jatah sambalku.
“Ih, jahaaaaat.” Aku mengerucutkan bibir, menunduk. Tampak ia mengunyah ayamnya perlahan dan meringis, “Sssh… Pedisnya… Syukur kamu tidak makan. Pedis, pedisss sekali.”
“Mana bisa pedis? Biasa saja kali’…”
“Aduh, betulan. Pedeees, pediss sekalii.” Ucapnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Eh, pulang yuk? Sudah hampir magrib.”
“Ih, kenapa cepat sekali? Sebentar saja pulangnya.” Aku memohon.
“Tapi, kan kamu tidak boleh pulang malam.”
“Itu kan kalau sudah jam sepuluh… Ini juga baru jam enam kurang lima belas menit.”
“Tidak boleh cewek pulang malam-malam. Nanti saya yang dimarahi sama ibumu.”
Kamu mengajakku pulang. Tahukah kamu, saat itu saya belum ingin pulang begitu cepat, saya masih mau menghabiskan waktu jalan-jalan ini lebih lama lagi. Sama kamu. Jujur, hari ini saya bahagia sekali. Waktu jalan-jalan yang hanya berkisar beberapa jam ini masih belum cukup bagiku. Kenapa kamu mengajakku pulang begitu cepat?
Kamipun berjalan mengitari mall, mencari pintu keluar. Saat itu, kami harus menyebrang jalan. Aku tidak tahu. Aku takut. Kendaraan berlalu-lalang, cepat sekali. Refleks, aku memegang bajunya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Nggak, saya hanya takut menyeberang.” jawabku sembari terus mencengkram bajunya.
“Ya sudah, pegang tasku!”
Aku menatapnya sebentar dan berpikir, Masya Allah, baiknya orang satu ini. Maka, aku pun memegangi tasnya, dan dia mulai berjalan dengan perlahan, menerobos kerumunan mobil juga motor. Sesampainya di seberang, kami menyetop angkutan kota. Di angkotan kota ia berucap sesuatu, “Eh, nanti kita pulang jalan kaki saja ya? Uang saya habis.” Aku hanya mengangguk pasrah, lagipula uangku juga ludes, dan aku kan tidak mungkin memberatkannya lagi, setelah seharian dia telah menyenangkan hatiku? Ya sudah, aku hanya tersenyum dan mengangguk, setuju. “Tenang, saya tahu kok jalan pintasnya.” ujarnya.
Beberapa menit kami tempuh untuk kembali ke wilayah kompleksku. Dan, kami pun mulai berjalan kaki. Berjalan di bawah naungan bintang yang masih muncul malu-malu, maklum ini baru jam tujuh malam. Berjalan berdua dengan dia, menjajarinya langkah kakinya. Dan tak terasa, perjalanan ini cukup singkat, dan tak sejauh yang kubayangkan sebelumnya.
“Gimana? Dekat kan?”
“Iya! Makasih yah. Makasih jalan-jalan dan traktirannya, ya.”
“Iya, sama-sama. Ya sudah, kamu pulang dulu. Saya juga mau pulang… Daaah.”
“Daadaaah!” balasku, melambaikan tangan, dan tersenyum lebar.
Makasih, makasih telah menepati janjimu.
Makasih, makasih jalan-jalan yang telah engkau berikan padaku.
Makasih, makasih telah menraktirku.
Makasih, makasih telah perhatian padaku.
Makasih, makasih telah bersikap baik padaku.
Makasih, makasih telah menjadi sosok teman cowok yang menjagaku.
Makasih, makasih tidak meminta apapun dariku.
Makasih, makasih telah menjadi teman terbaik yang pernah ada hidupku…

Comments

  1. banyak juga cerita mu yaa.
    hha3. pasti ttg itu. iyaa dehh

    ReplyDelete
  2. mygod... noo... salah paham lah anda, ini saya ngarang... bukan cerita nyata

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun