sumber gambar |
Kalaulah nanti kamu punya ayah yang suka perbintangan dan ibu yang suka perkebunan, barangkali di rumahmu akan ada taman cantik hasil tangan telaten ibu. Tiap malam kalian akan menggelar tikar di sana, memandang langit. Jika sedang cerah, ayah akan mengajakmu mencermati sekumpulan titik-titik cahaya dan mengajarimu nama-nama. Rasi bintang, kata ayah. Pada ulang tahunmu yang kesepuluh, barangkali ayah akan mengadoimu teropong. Malamnya, kalian berbaring bertiga lagi di taman dengan sebuah teropong di genggaman. Biar dapat mengamati bintang lebih jelas, kata ayah. Ibumu tak banyak bicara. Ia lebih senang memandangi ayah dan kamu bercengkrama. Sesekali ia menanggapi tanda menaruh peduli. Sesekali saja.
Tetapi aku bukan wanita yang gemar berkebun, Nak. Aku tak bisa menjamin taman di rumah akan secantik khayalanmu. Bahkan aku tak tahu apakah kelak rumah kita cukup luas untuk memiliki sepetak taman. Aku juga tidaklah sekalem ibu yang kuceritakan. Aku wanita yang gemar bicara, barangkali rumah kita akan lebih sering diisi celoteh-celoteh ibu daripada ayah. Bisa juga diisi perdebatan kecil antara ibu ayah sehabis mendiskusikan sesuatu. Tetapi kamu jangan takut, berselisih paham itu biasa, itu hanya pertanda kami berdua masih waras dan masih menemukan keasyikan dalam perbincangan.
Saat ini, ibu tak dapat menjamin apa-apa. Tak juga dapat memberimu khayalan apa-apa mengenai keluarga masa depan. Apakah ibu akan tetap seperti ini atau sedikit berubah, ibu tak tahu. Apakah nanti ayahmu benar secerewet bayangan ibu ataukah sosok pendiam yang selama ini ibu hindari, ibu juga tak tahu. Yang perlu kamu tahu, catatan ini ibu tulis ketika ibu berumur dua puluh dua di ruang kerja dan belum menikahi siapa-siapa. Lebih asyik mengkhayal-khayal begini, lari sejenak dari sekelumit kalimat yang menunggu diterjemahkan. Oh iya, nanti ibu akan membiasakanmu menulis-nuliskan hal kecil. Seperti ibu, iya, biar ibu selalu melihat dirinya tecermin dalam tubuhmu.
Comments
Post a Comment