dok. pribadi |
Nanti, kataku. Nanti,
ketika apa yang tergambar telah terkatakan dengan lugas. Selama menunggu
apa yang tidak aku tunggu itu, aku akan tetap menyemai benih kesabaran
pada lahan lapangku. Di situ telah ada bonsai percintaan yang rutin
kusirami pagi-sore dengan airmata. Rutinitas tiap malamku ialah
menampung bulir-bulirku untuk keesokan hari.
Tetapi beberapa hari ini lahanku gersang sebab air tidak mengalir. Ini semua akibat kawanku. Ia jengah melihatku menderaskan airmata. Pembelaanku, aku perlu demi bonsaiku. Aku tak ingin milikku mati. Aku tak ingin cintaku mati. Sayang, ia tak peduli. Kata dia, apalah guna memelihara bonsai bila harus mengucurkan airmata saban hari? Tidakkah eman pada perasaan sendiri? Buat apa menunggu nanti apabila kau bisa memutuskan kini?
Aku terduduk sembari merenungi kata-kata kawanku. Apa betul perasaanku tiada arti dan berposisi dalam diri? Apa aku telah menjunjung dan menyanjung yang tidak patut? Tiba-tiba saja, entah dorongan kekuatan dari mana, aku berhenti dan tak lagi peduli. Bonsaiku sayang, bonsaiku malang, ia meranggas kini. Dedaunannya berjatuhan mengotori lahan. Tertiup angin ke sana kemari karena tak ada yang meresiki.
Yogyakarta, Juni 2017
Comments
Post a Comment