dok. pribadi |
Lorong gelap di
hadapan. Kita tegak di pintu masuk. "Kau mau menjelajah ke dalam?"
tanyamu. "Asal kau ikut, aku berani." jawabku mantap. Tanganmu meraih
obor yang tercantel di kiri kanan dinding. Kau nyalakan dengan pemantik
yang terselip di celana. Suara
kaki-kaki kita mengendap di lorong yang sepi. Kita berjalan
bersampingan, tetapi tidak bergenggaman. Lorong bercabang dua. Lalu
tiga. Kau memilih jalurnya dan aku mengikuti. Makin berjalan, kita
menyadari lorong ini makin sempit. Entah ujungnya mengarah ke mana.
Was-was menguasai diriku. Bagaimana kalau di depan ada penculik? Bisa
jadi mereka ada di belakang kita siap menyergap! Bagaimana kalau ada
ular, kalajengking? Kau membantah semua kekhawatiranku dan mengatakan
tidak ada siapa-siapa dan apa-apa selain kita berdua. Memang benar,
hanya dua obor, dinding berbatu, dan kita berdua.
Berdua. Apakah aku aman berdua bersamamu? Bagaimana jika kau yang menempatkanku dalam marabahaya? Bagaimana bila kau memerkosaku tepat di lorong gelap ini? Atau mencekikku samping hilang napas? Atau merebut oborku lalu berlari meninggalkanku tanpa petunjuk? Mengapa aku percaya padamu? Ah, ya. Mengapa aku percaya padamu. Seharusnya kunci kepercayaan kudekap erat, tak kuberikan pada sesiapa. Kini terlambat sudah, sayang.
Yogyakarta, Juni 2017
Comments
Post a Comment