sumber gambar |
Hari Kamis di penghujung bulan Agustus diselenggarakan pemutaran perdana film-film penerima danais (dana istimewa) 2017 di Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Aku berangkat ke sana sehabis salat magrib di kantor. Ketika aku sampai pukul 18.40, aku sudah khawatir saja terlambat menghadiri sesi pertama. Untungnya acara belum dimulai, bahkan aula pun belum dibuka. Di depan ruangan berjejalan banyak orang, ada anak-anak SD, mahasiswa, pembuat film, orang-orang tua, dosen, dan mungkin para pegiat film lainnya. Aku datang sebagai penikmat film (gratisan nan antimainstream) tentu saja.
Danais kali ini disalurkan pada dua film dokumenter dan lima film fiksi. Tiga film diputar pada sesi pertama, yakni Incang-inceng, Pentas Terakhir, dan The Unseen Words, sementara sesi kedua memutar film Padhajayanya, Hoyen, Munggah Kaji, dan Dluwang. Akan tetapi, ulasan ini hanya akan membahas tiga film pada sesi pertama. Ulasan empat film lainnya akan kutayangkan di tulisan selanjutnya supaya tidak kepanjangan. Yuhuuu, kita mulai saja, ya?
Incang-inceng (2017)
Incang-inceng koplak banget! Seisi ruangan tak henti-hentinya membahanakan gelak tawa karena tingkah anak-anak Desa Pagermulyo. Untuk memperingati hari ulang tahun desa, pak lurah mengadakan kompetisi sepak bola anak SD dengan iming-iming hadiah satu juta rupiah. Anak-anak mulai sibuk membentuk regu yang terdiri dari lima orang. Tersisalah si Lincah dan si Gendut yang belum mendapatkan kawan. Nanang, si bocah ingusan, terpaksa dimasukkan ke dalam kelompok mereka demi melengkapi tim. Si Pintar yang menggemari silat juga diajak, meskipun mengaku tak pandai bermain bola. Baru empat orang, nih, satu lagi siapa ya? Bagai durian runtuh, tetiba saja dari balik tembok muncul Bernard anak Papua yang sangat senang bermain bola. Nah, tim sudah lengkap, bagaimana dengan seragam? Kata panitia, tim yang ingin bertanding haruslah punya seragam. Di tengah perundingan, bapak Bernard yang sedari tadi menguber-nguber anaknya akhirnya menemukan mereka.
"Bernard! Pulang kau, balajar!" teriak bapaknya. Bernard menghampiri bapaknya dengan takut-takut.
"Bapa, kata Bapa laki-laki harus pegang janji. Sa sudah janji dengan teman-teman untuk ikut main bola. Habis ini Bernard janji akan rajin belajar."
"...ko serius, ya. Laki-laki memang harus pegang janji."
"Iya, Bapa, tapi... kami ini belum pu seragam."
"Tenang, Bapa kau ini kan penjahit!"
Jadilah, mereka bertanding sepak bola dengan seragam buatan bapak Bernard yang masyaAllaah modis tenan! Hahaha, ada motif batiknya, lho! Babak demi babak dimenangkan kelompok ini. Wah, penonton sudah optimis mereka akan membawa pulang piala. Ketika mencapai final, mereka dihadapkan dengan regu yang bemain curang. Mereka disikut dan dijegal, tetapi wasitnya diam saja. Huh, curang betul. Saat tendangan penalti, mereka bingung menentukan siapa yang harus maju. Nanang yang ingusan mendapatkan ide licik, "Aku saja! Nih (menunjuk hidung), dengan ini pasti kita berhasil!" Ide apa yang dibawa Nanang? O la la, ternyata dia mengusap ingusnya di bola sepak, membuat sang kiper jijik, daaaan... coba tebak siapa yang menang?
Regu sebelah! Ya, aku tahu, mengecewakan. Lima pahlawan cilik kita ini juga dirundung kecewa. Semuanya menyalahkan Nanang yang bertindak curang.
"Gara-gara kamu dan ingus kamu, Nang, kelompok kita jadi didiskualifikasi."
"Lho, mereka itu juga curang, tetapi kenapa cuma kita yang ditindak? Wasitnya tidak adil."
"Ah, nggak tahulah, Nang..."
Teman-teman beranjak meninggalkannnya dan Nanang dihampiri oleh regu sebelah. Akan terjadi perkelahian lima lawan satu, nih, pikirku. Tetapi tidak, Si Lincah, Pintar, Gendut, dan Bernard membentuk benteng dan melindungi Nanang dari anak-anak itu. Hore, mereka tidak sampai hati meninggalkan Nanang sendirian! Cerita ini ditutup dengan berpapasannya mereka dengan tokoh silat yang selama ini diidolakan Si Pintar.
Suer, aku gagal paham kenapa pendekar silat dari Cina harus dimunculkan di film ini. Nggak nyambung. Barangkali pemasukan karakter itu dimaksudkan untuk menambah kelucuan, tetapi aku tak menangkap maksudnya. Soalnya, si pendekar silat ujug-ujug datang ke desa tanpa alasan. Kan aneh, jatuhnya malah kukira halusinasi anak-anak saja. Nilai yang menonjol di film ini tentu nilai kesetiakawanan. Film ini cocok ditonton anak-anak. Andai saja bioskop kita diramaikan dengan film seperti ini, tentu bisa menjadi hiburan seluruh keluarga.
(*) Maaf Mas Kelik Sri Nugroho (sutradara), aku lupa nama tokoh Si Lincah, Gendut, dan Pintar maka kuberikan panggilan sendiri. Nanti akan aku ubah kalau aku tahu nama ketiga anak itu.
Pentas Terakhir (2017)
sumber gambar |
Tema G30S tidak habis-habisnya digemari, entah di ranah sastra atau film. Pentas Terakhir. Apa yang tergambar dalam benak ketika kamu mendengar pentas terakhir? Film yang disutradarai oleh Triyanto Hapsoro ini menyorot para pemain ketoprak yang terciduk pada masa Gestapu. Mula-mula, rumah Bondan didatangi tentara dan ia dipaksa naik ke truk. Bingung dengan keadaan yang serba tiba-tiba, ia meminta penjelasan dari Lanjar--kawannya--yang berada di truk lebih dulu. Adegan berganti ke rumah Parjan dan Wantun. Saat itu, Parjan sedang memasangkan blangkon ikat ke kepala anaknya sembari menembangkan lagu.
"Pak, nanti belikan blangkon yang lebih bagus, ya, supaya bisa dipakai pentas."
"Iya, Le. Nanti Bapak belikan, sementara pakai ini dulu."
"Iya, Pak. Aku, Danang Sutawijaya!"
Ketentraman suasana tetiba diusik oleh tentara-tentara yang menarik paksa Parjan ke atas truk setelah diketahui ia adalah teman Lanjar. Wantun menjerit takut ditinggalkan sehingga ia ikut dibawa naik ke atas truk. "Pak, kita ini mau ke mana to?" tanya Wantun setelah beberapa saat. Dilanda kebingungan dan ketidakpastian, Parjan hanya dapat menjawab, "Kita ini mau pentas, Le. Pentas ketoprak." Nyatanya, mereka semua dijebloskan ke penjara bersama tahanan lain. Parjan masih tetap menghibur anaknya yang bertanya-tanya dengan menyakinkan Wantun bahwa mereka sampai ke sini karena akan pentas. Lanjar pun dipaksa Parjan untuk berbohong demi Wantun. Akhirnya untuk mengisi waktu--dan menghidupkan kepura-puraan Parjan--mereka semua berlatih ketoprak. Tatkala berpapasan dengan sipir penjara, dengan segera Parjan mengenalinya dan memohon keringanan. Para pemain ketoprak yang terciduk ini sesungguhnya tidaklah memiliki keterkaitan apa-apa dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang lekat dengan PKI sebagaimana yang tertuduh sebab mereka hanya membawakan ketoprak biasa. Namun apa daya, telah turun surat dari atasan yang menegaskan mereka semua akan dihukum mati dua hari lagi. Sesak dengan putusan yang diterima, Parjan meminta satu permohonan terakhir pada sipir itu. "Demi Wantun," pesannya.
Pentas ketoprak yang diidamkan Wantun kejadian juga. Seluruh penghuni sel Parjan dan Lanjar mementaskan pertunjukan ketoprak lengkap dengan kostum dan musiknya dan ditonton oleh penghuni sel lainnya. Wantun tampak begitu sumringah dan sepenuh hati memerankan Danang Sutawijaya, sementara Parjan memandang anaknya dengan senyum getir. Besok, ia tak dapat lagi menemani Wantun. Tak akan kesampaian pula inginnya membelikan Wantun blangkon baru. Seusai pentas, Wantun berbaring di kaki bapaknya seraya mendengarkan tembang Parjan.
"Pak, tadi peran aku bagus, to?"
"Bagus, Le, hebat sekali. Kamu pasti jadi pemain ketoprak terkenal suatu hari nanti. Le, kalau sudah gedhe, kamu harus membawakan ketoprak yang bermanfaat ya, Le. Yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengubah masyarakat."
"Besok pagi-pagi Bapak mau pentas, Le, di tempat yang jauh sekali. Kamu tidak usah ikut."
"Iyo toh, Pak? Wah, ketoprak Bapak makin terkenal, dong!"
"Iya, Le."
Ampun, di adegan ini aku tidak berhenti berurai air mata. Oh, Wantuuun, andai saja kamu tahu besok kamu tak dapat lagi melihat bapakmu untuk selamanya!
Wantun terbangun dengan keadaan sel yang kosong melompong. Di sampingnya sudah hadir Pakdhe sang sipir penjara yang mengajaknya pulang. "Pakdhe, Bapak pentas di mana to sebenarnya?" dengan polos Wantun bertanya. Pakdhe, tak sanggup mencari kata, hanya menggelengkan kepala lalu menariknya pulang.
Kira-kira bagaimana reaksi Wantun ketika ia tahu bapak yang dibanggakannya itu dibunuh tentara? Kuperkirakan, kelak kita ia dewasa, ia akan banyak menyusun naskah ketoprak yang mengkritik habis pemerintah karena dendamnya. Betapa banyak masyarakat tidak berdosa yang menjadi korban saat Gestapu. Betapa kejam nasib yang harus diterima keluarga yang ditinggalkan. Adalah wajar apabila sejarah kelam Indonesia ini kerap diangkat, mungkin sebagai bentuk rasa simpati kepada para korban, mungkin pencerdasan sejarah, mungkin juga sebagai protes atas kasus yang tak pernah terkuak itu. Ah ya, kisah yang ada dalam film Pentas Terakhir ini merupakan kisah nyata. Hal itulah yang membuatku makin tersedu-sedu, rasanya kok jahat betul, ya, masa-masa itu...
The Unseen Words merupakan film dokumenter oleh Wahyu Utami mengenai kelompok ketoprak Distra Budaya yang dinaungi Badan Sosial Mardi Wuto Dr. Yap. Distra adalah singkatan dari disabilitas netra. Distra Budaya ingin mengangkat citra seorang tunanetra bahwa mereka tidak hanya bisa memijat, tetapi juga melestarikan budaya. Film ini menyorot latihan rutin para anggota dan persiapan pentas sederhana. Sepanjang film aku berpikir, "Bukankah sulit menyesuaikan petunjuk panggung dan bahasa tubuh para pemain yang tidak dapat melihat?" Akan tetapi, kekhawatiranku tak beralasan sebab mereka berhasil menguasai panggung dilandasi niat belajar yang begitu kuat. Latihan rutin tiap bulan mempertemukan mereka untuk membaca naskah berhuruf braille, menghapalkannya bersama, menyesuaikan ekspresi, dan juga lokasi berdiri.
Bagian menulis proposal, mencari lokasi pentas, serta menyewa kelompok gamelan juga menyentuh hati sebab dana yang mereka miliki sesungguhnya hanya sedikit. Salut aku pada orang-orang yang telah membantu penyelenggaraan pentas ini. Di akhir film, para anggota Distra Budaya duduk bersama mendengarkan kembali siaran pentas mereka dari Youtube. Rasanya ingin menangis ketika teringat perkataan salah seorang anggota, "Katanya pentas ini mau dimasukkan ke Youtube. Kalau begitu, persiapan kita mesti serius supaya bagus, ini kan dapat disaksikan seluruh dunia." MasyaAllah, sehat-sehat terus ya, Pak, Bu. Tetap semangat nguri-uri kabudayan Jowo! Semoga nama Distra Budaya kelak terkenal di negara sendiri, setidaknya di Provinsi DI Yogyakarta. Oh, did I mention earlier that most of the members are 40 years old and above? That's another thing for us to admire.
Bagian menulis proposal, mencari lokasi pentas, serta menyewa kelompok gamelan juga menyentuh hati sebab dana yang mereka miliki sesungguhnya hanya sedikit. Salut aku pada orang-orang yang telah membantu penyelenggaraan pentas ini. Di akhir film, para anggota Distra Budaya duduk bersama mendengarkan kembali siaran pentas mereka dari Youtube. Rasanya ingin menangis ketika teringat perkataan salah seorang anggota, "Katanya pentas ini mau dimasukkan ke Youtube. Kalau begitu, persiapan kita mesti serius supaya bagus, ini kan dapat disaksikan seluruh dunia." MasyaAllah, sehat-sehat terus ya, Pak, Bu. Tetap semangat nguri-uri kabudayan Jowo! Semoga nama Distra Budaya kelak terkenal di negara sendiri, setidaknya di Provinsi DI Yogyakarta. Oh, did I mention earlier that most of the members are 40 years old and above? That's another thing for us to admire.
Dari tiga film yang kuulas ini, tentu kamu dapat menebak film mana yang membekas di pikiran dan hatiku. Ya, Pentas Terakhir menjadi juara dalam pemutaran sesi pertama ini. Film itu sukses mengaduk-aduk perasaan (asal tahu saja, aku selalu demen film sentimental) dan menghasilkan perenungan. Aku masih kurang banyak mencari tahu soal Gestapu. Setelah menonton ini, aku merasa wajib mencari tahu soal Lekra, kesenian, PKI, dan semua yang berkaitan dengan itu. Film ini harus diangkat ke layar lebar, seperti halnya Ziarah dan Turah. Kalaulah tak sampai waktunya, ada baiknya digabungkan dengan film lain, intinya harus kudu wajib masuk bioskop. Sayang betul jika pangsanya hanya pasar niche yang terbatas lagi.
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment