Skip to main content

Perempuan-perempuan Pesantren: Ulasan Teater Annisa


dok. pribadi
Annisa dan Nimas

Ada yang menarik di UNY malam ini! Apa, tuuuh? Acara Laboratory Unstrat (Unit Sastra dan Teater) UNY, tentunya! Ini merupakan gabungan lima pertunjukan dalam satu malam, yaitu eksperimentasi puisi, monolog, pantomim, musikalisasi puisi, dan drama. Dari lima pertunjukan, aku ingin menyorot drama yang berjudul Annisa.

Annisa--sebagaimana yang kita tahu--bermakna perempuan. Drama ini mengisahkan kehidupan empat santri dengan Annisa sebagai tokoh utama. Annisa, Sundari, Wati, dan Nimas merupakan kawan karib yang berbeda karakter. Ada Wati yang ceriwis nan genit, Nimas yang tomboy dan kritis, Sundari yang ustazah banget, dan Annisa yang kalem. Mereka berempat tampil dengan busana khas santri: baju longgar dan kerudung lebar. Sungguh kusayangkan semua aktris ini--tak terkecuali Sundari yang dicitrakan alim--membuka kerudungnya padahal mereka memerankan tokoh berjilbab panjang. Ya, aku tahu santri tidak mengenakan kerudung di kamar, tetapi mereka bisa menyiasatinya dengan mengenakan bergo, bukan? Masa kau gadaikan kerudungmu demi sebuah penghayatan peran? Yang terperangah pun tak hanya aku, tetapi juga penonton lain.

Klimaks mencuat ketika Sundari dan Wati tahu Annisa ditaarufkan dengan Dimas. Mendengarnya, raut wajah Nimas mendadak kuyu. Ketika kamar sepi, Nimas mengonfrontasi Annisa dan terbongkarlah kisah cinta mereka berdua. Nimas sungguh tak rela Annisa hidup dengan lelaki, sementara ia telah merencanakan masa depan dengan begitu matangnya. Mereka akan membangun toko kue bersama, keluar negeri untuk melegalkan hubungan, hamil bersama dengan modal dari bank sperma, lalu membesarkan anak mereka berdua. Annisa--sayangnya--tak terbuai dengan semua itu, justru ia diliputi keraguan sebab ia anak seorang kyai. Apa kata orang jika anak tokoh agama yang nyantri ternyata seorang lesbian? Drama ditutup dengan suara ijab kabul Dimas terhadap Annisa.

Drama ini sukses, lho, membuat para penonton geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, ada adegan Wati mengenakan bra di depan bajunya lalu bergoyang sensual. Lah, bagaimana seisi ruangan tidak histeris menyoraki?
Menurutku adegan itu tidak perlu, meskipun ada pula yang tertawa. Mengapa? Sebab ia memerankan karakter berjilbab panjang. Hahaha, sensitif ya, aku.

Kedua, jelas sekali si penulis naskah hendak menerabas paham agama yang kaku tentang perempuan. Bagi beberapa penonton, hal ini tentu mengusik nurani. Kontras pendapat ini tecerminkan dalam adu dialog antara santri lain dengan Sundari yang akan aku ilustrasikan seingatku.
"Memang nggak boleh po aku punya daleman (yang cantik berenda) begini?"
"Kamu, kan, belum punya suami!"
"Loh, aku pakai untuk diriku sendiri, kok!" (setuju aku, cantik itu buat diri sendiri, bukan buat orang lain)
"Hmm, tetapi mbok ya nggak usah."
"Iya nggak usah, toh laki-laki itu di mana-mana sama saja. Bagi mereka, perempuan itu tetap saja menarik betapa pun tertutup rapat. Kita yang sudah berkerudung lebar, pakai rok, dan pandangan tertuju ke tanah saja masih sering digodai! Mungkin kita-kita ini lebih menarik karena tersembunyi." (lalu maksute opo, Mbak? Apa kalian mau bilang pakaian syar'i tidak ada gunanya lagi dalam melindungi perempuan karena lelaki bejat dari sononya?)

dok. pribadi
Di kamar pesantren

Kamu kenapa, sih, nggak seneng teman kita dikhitbah? Menikah itu bahagianya seumur hidup. Pahala kita juga setengahnya ada di sana!" (naif tenan berpendapat menikah itu jaminan bahagia selamanya. Nggak juga. Okelah, pahala memang setengahnya tersimpan di rumah tangga)
"Loh, kita ini baru juga terima KTP, kok, sudah mau dilamar! Mbokya sekolah, kerja, sukses dulu!"
"Perempuan itu ngabdi sama suami. Bikinin sarapan aja, nih, terhitung pahala. Sudah dari sananya kita harus melayani suami. Misalnya, suami pengin sama kamu, ya mesti kamu layani."
"Ealah, kok mau jadi babu suami! Babu untuk cuci, masak, seks, dan lain-lain itu."

Aku senyum-senyum saja mendengarnya sebab aku pernah (mungkin masih) menganut pendapat yang terdapat pada beberapa dialog. Akan tetapi, kan, tidak semua penonton setuju. Kawanku saja sampai syok dan penonton di sampingku tak berhenti beristighfar. Ahaha. Frontal betul penyampaian ide dalam drama ini, ditambah lagi ia dilontarkan dengan gaya yang meremehkan oleh para santri (yang notabene kita tahu ngaji adalah asupan mereka sehari-hari). Ternyata ada, ya, santri yang kontra dengan isi pengajiannya. Contohnya lesbian, lah ya tentu di kajian mereka diberi tahu bahwa hal itu salah, tetapi diam-diam ada pula yang menjalin kasih. Perihal lesbian, penulis naskah menyelipkan pembenaran dalam kalimat Nimas berikut.
"Aku rasa ketidaknormalan kita ini normal, Nis! Lihat saja, tiap hari kita ini hanya bertemu dengan para perempuan. Kalau bertemu laki, kita wajib memalingkan wajah. Lalu bagaimana? Kepada siapa lagi kita jatuh cinta kalau bukan pada perempuan?" ENG ING EEEENG. Mind blown!

Intine, selamat yo, Mbak telah berhasil mementaskan sebuah drama yang dikemas dengan cukup baik. Tidak apa-apa mengusik hati para penonton sebab itulah karya seni: memancing penikmatnya untuk memikirkan kembali persoalan-persoalan yang disuguhkan. Drama ini bukan santapan umum, kurasa. Jangan coba-coba memainkannya di pesantren atau kampus islam kalau tidak mau diprotes karena berseberangan pandangan. Demikian.
 
dok. pribadi
Para pemain

Tabik,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun