Indonesia Dramatic Reading Festival telah memasuki usia sewindu. Festival pembacaan naskah lakon konsisten diadakan selama delapan tahun berturut-turut di IFI LIP Sagan. Proses produksi festival tahun ini dibantu oleh Forum Aktor Yogyakarta dan naskah yang dibacakan dikurasi oleh Mas Mamad (Muhammad Ba'asyin). Dahulu selalu Mas Cindhil alias Gunawan Maryanto yang menjadi kurator naskah. Festival pembacaan naskah lakon tahun ini berlangsung dari tanggal 30 Oktober--1 November 2017. Tiga naskah yang dibacakan adalah naskah
Keluarga Moechtar,
Home/Sick, dan
Seorang Lelaki yang Bisa Berbahasa Jawa. Satu merupakan naskah berbahasa Indonesia dan dua lainnya naskah terjemahan dari bahasa Inggris dan Brazil.
|
Cindhil, Joned, Lusi, Neni, Verry, Mamad |
|
Penyerahan simbolis naskah IDRF dari Cindhil ke Mamad |
Ide Indonesian Dramatic Reading Festival muncul dari Joned Suryatmoko setelah ia pulang dari Asia Playwright Conference yang diselenggarakan di Tokyo tahun 2009. Sepulangnya dari sana, ia mengajak Cindhil dan Lusi untuk mewujudkan ide Indonesia Dramatic Reading Festival. Kehadiran IDRF begitu penting sebagai penyegaran atas dunia naskah lakon yang kini semakin terpinggirkan. Menurut Mas Cindhil, pementasan teater akhir-akhir ini seringnya mengangkat naskah tahun 1950 atau 1960-an. Asumsi Cindhil, ini terjadi karena tidak adanya jurnal dan majalah sastra yang memuat karya naskah lakon terbaru. Indonesia Dramatic Reading Festival dihadirkan untuk menjadi ruang penampungan naskah lakon yang sempat terkatung-katung itu. Harapannya, dengan kehadiran IDRF, para penulis naskah lakon semakin giat berkarya.
Selama delapan tahun pelaksanaannya, IDRF telah mempertemukan para penulis naskah lakon dengan kelompok teater yang akan mementaskan naskah tersebut. Dapat dikatakan IDRF berhasil menjadi jembatan antara penulis naskah dan kelompok teater. Apalah arti sebuah naskah lakon bila tidak dipentaskan, bukan?
Keluarga Moechtar
|
Tedi, Beni, dan Ical di ruang keluarga
Narator--merangkap Ruby--sedang membaca |
Naskah karangan Bintang Kichi Emzita ini bercerita tentang polemik keluarga. Sepeninggal Pak Moechtar, anak-anak berembuk untuk membicarakan warisan.
Ical sebagai anak sulung bertugas mengumpulkan kedua adiknya, Tedi dan
Beni, dan perwakilan keponakannya. Suasana diliputi rasa tidak nyaman
setelah Ical berniat untuk menjual rumah sebagai bagian dari warisan.
Beni sontak menolak karena ibu mereka yang sedang sakit tidak bisa
seenaknya dipindahkan ke rumah yang lebih kecil. Dengan takut-takut Ical
mengungkapkan utang yang harus dilunasinya dengan uang warisan. Pintu
diketuk, datanglah Diana sebagai wali dari Suar. Diana tampak
terburu-buru dan menghindari tatap mata dengan Tedi. Tatkala Ical dan
Beni bersitegang, Tedi mendekati Diana dan memohon maaf karena tak
pernah menengok Suar. Teater ditutup dengan kemarahan Beni pada Tedi
karena telah merebut istrinya, Diana.
Alurnya tak dapat kutebak,
which is, bagus. Aku heran saat ada seorang perempuan yang bagian dari keluarga, tetapi entah siapa suaminya. Kupikir suaminya sudah meninggal, ternyata mantan suami juga selingkuhannya adalah anggota keluarga yang ada di situ. Rumit, ya.
|
Beni dan Diana di taman rumah |
|
Beni dan Ical menghibur Tedi |
|
Beni membentak Tedi |
Seorang Lelaki yang Bisa Berbahasa Jawa
Sepasang
lelaki bernama Castelo dan Castro sedang bercakap-cakap di kedai roti.
Castro tengah menyimak cerita kesuksesan sahabatnya yang pernah bekerja
di konsulat. Alkisah, di tengah kemelaratannya, Castelo nekat melamar
sebagai seorang guru bahasa Jawa, padahal ia bukan orang Jawa. Dengan
modal penguasaan aksara Jawa dan kosakata yang patah-patah, ia
mengajukan diri sebagai guru privat seorang baron. Hal ini kemudian
mengantarkannya ke puncak kesuksesannya. Teater ditutup dengan kalimat
yang cukup menggelitik, "Aku bosan menjadi ahli bahasa Jawa! Aku mau
menjadi ahli bakteriologi!" Bagiku, teater ini menyindir klaim cendekia
masa itu yang dapat diperoleh dengan mencomot kalimat sana-sini tanpa
benar perlu menguasai ilmu. Betapa mudahnya masyarakat teperdaya oleh
akal-akalan Castelo.
|
Castelo dan pegawai Departemen Luar Negeri |
Hal menarik dari naskah ini adalah pemilihan bahasa Jawa sebagai poros utama cerita. Bayangkan, pada tahun 1911 penulis Brasil mengenal bahasa Jawa yang jauuuuh di Asia. Posisi bahasa Jawa di sini cukup baik, bahkan cenderung diagung-agungkan. Bolehlah menambah kebanggaan berbahasa untuk para penonton yang dominan orang Jawa ini. Beberapa kalimat favoritku di sini adalah:
"Dalam situasi terjepit selalu ada celah untuk bangkit."
"Kadang kita harus menghilangkan apa yang kita miliki untuk mendapatkan apa yang lebih besar."
"Jangan biarkan rasa penasaran menutupi matamu."
|
Castelo dan Baron Jacuecanga |
|
Usai pentas |
Oh
ya, khusus yang penasaran dengan naskah Seorang Lelaki yang Bisa
Berbahasa Jawa, aku mencoba menerjemahkannya dan mengunggah hasilnya di
tautan
berikut. Ini kali pertamaku menghadiri acara Indonesia Dramatic Reading Festival dan aku sangat terkesan! Senang sekaligus penasaran dengan cara para aktor membacakan naskah. Ekspresinya dapat. Aku beberapa kali coba membaca prosa dan dongeng di Soudcloud
(yuk, mampir!), tetapi permainan intonasiku masih belum total. Apa harus ikut grup teater dulu, ya? Hahaha.
Yak, hopefully next year IDRF will be held in Jakarta also. Sayang sekali jika hanya sedikit yang tahu-menahu tentang acara ini.
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment