Skip to main content

Selasa yang menangis

Selasa pagi yang mendung.
Ning menemuiku di kantin kampus. Kami bertukar cerita liburan dan menyisipkan curahan hati sembari menunggu hujan reda. Karena tidak tampak tanda hujan akan berhenti, kami nekat menembus hujan berbekal payung kecil dan membiarkan bawahan dan sepatu kami basah. Kami menuju tujuan yang sama, yakni ruang dosen.

Selasa siang yang muram.
"Dosennya tidak bisa ditemui jika belum bikin janji, nih."
"Ya sudah, kamu SMS beliau dan kita tunggu dua puluh menit lagi."
Seorang laki-laki masuk gedung dan beberapa kali melempar pandang ke arah kami. Baru saja aku ingin bertanya, "Ning, itu kawanmu?", ternyata lelaki itu menyapa.
"Ina? Ina, kan?" sapanya sambil menunjukku.
"Iya. Eh, kakak?" ucapku tak percaya. Perawakanmu berbeda, aku sampai tidak mengenali. Ke mana saja kau selama berbulan-bulan? Dan kali ini, kulihat kau tak sendiri. Ada perempuan bersamamu.
"Ina..."
"Ai!" Aku segera bangkit dari duduk dan menyalami Ai yang tampak manis, seperti biasa.

"Ai, kamu apa kabar? Lama tidak berjumpa." Kutampakkan senyum paling manis yang kupunya. Ada wajah yang sedang berkamuflase. Wajah yang tampak bahagia dan baik-baik saja. Padahal...
"Iya, alhamdulillah baik. Sedang skripsi juga?"
"Ya, kita sama."
"Eh, kalian saling kenal?"
"Oh iya, dia senior aku dulu." Segera kulirik dirimu dan kau tampak menundukkan muka. Kenapa? "Omong-omong, kalian ngapain di sini?
"Iya, Na, si Ai belanja mata kuliah. Saya menemani sekalian ingin silaturahmi ke dosennya."
Kau menyarankan Ai mengambil mata kuliah itu?
--

"Ina, saya ingin mencoba kuliah di fakultasmu. Rencananya ambil ini dan itu. Kamu ada saran dosen?"
"Sesaat lagi saya kabari, ya."
Klik.
Aku ingat percakapan 27 detik kita. Aku ingat siapa yang kuhubungi demi mendapatkan jawaban untukmu. Aku ingat semuanya, entah kamu.
--

"Oh, Ai belanja mata kuliah itu, toh. Kau sendiri apa kabar, kak? Lanjut kuliah, kan?"
"Iya, saya kuliah lagi."
"Oh, oke. Ya udah, sampai nanti, ya." (Bodoh kau, mengapa kau terkesan mengusir?)
"Oke, Ina. Kami duluan, ya."

Kau berbalik. Menyisakan balik punggung yang entah kapan kulihat lagi.
"Kak, sukses ya kuliahnya!"
Berbaliklah, sebentar saja. Lihat aku, sekilas saja. 
Tapi tidak, kau hanya menyampingkan tubuh dan mengayunkan tangan, "Iya, Na, terima kasih."
Kemudian berlalulah engkau di balik pintu. Kutanya diri sendiri, "Benarkah aku baik-baik saja?"
--

You're breaking my heart, you're breaking my heart
Don't tell me that we will never be together...

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun