Beberapa tahun silam di atas angkot, aku melihat seorang muslimah berkerudung merah panjang dengan bordir bunga dari balik jendela. Aku tidak kenal, tetapi entah mengapa hati seketika damai melihat sosoknya. Saat itu, aku belum mengenakan kerudung secara permanen. Masih sebatas kerudung cokelat pramuka yang terburu dilepas ketika bel sekolah berbunyi.
Entah apa pula yang menggerakkan langkahku menuju satu toko kerudung jilbab syar'i di Jln. Abd. Dg. Sirua. Berbekal uang yang ditabung sebelumnya, aku membawa pulang kerudung hitam dan putih susu. Bahan kerudungnya lebih tebal dan panas daripada kain wolfis yang kita kenal sekarang. Ketika itu, yang terlintas di pikiranku hanya, "Aku mau pakai kerudung tebal seperti murabbiyahku." Murabbiyah adalah pionir tergeraknya hatiku mengenakan kerudung. Ia tidak pernah menyuruh, tetapi senantiasa mencontohkan hal-hal baik padaku. Salah satunya, aku kagum ketika melihat ia berwudu dengan menghemat penggunaan air keran.
Dulu semua serba sederhana. Kerudung syar'i yang kutahu itu berwarna gelap, berbahan tebal, dan cara penggunaannya hanya satu model. Sebab dulu kerudung syar'i belum marak, alih-alih tersentuh mode. Toh, memang hanya itu yang tersedia maka itu saja yang dikenakan tanpa banyak protes. Jadi ingat cerita tentang muslimah di zaman Rasulullah. Saat perintah berjilbab turun, mereka langsung menyambar kain apa saja untuk dijadikan penutup kepala. Sami'na wa atho'na.
Dulu pikiran belum disibukkan dengan model pasmina, gamis, atau blus terbaru. Yang kita tahu, dengan berjilbabnya diri maka mestilah perbanyak datang kajian. Semoga kita, para muslimah yang hidup di zaman serba mudah, cepat, dan nyaman ini, senantiasa memperbaiki niat berkurudung. Burulah ilmu Islam, jangan koleksi pakaian semata. Semoga bisa ditarik hikmahnya. :)
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment