Skip to main content

Jangan Ada Koma

"Aku ingin bicara," ujar S pada P yang sedang tergelak karena lelucon Koma. Sudah beberapa bulan ini S menahan emosi acapkali Koma bertandang ke rumah. Ketenangannya terusik, amarahnya melejit. Cemburunya? Oh, jangan ditanya. Meluap-luap tentunya.
"Berdua saja," tegasnya.
"Ada apa?" tanya P tak sabar setelah menutup pintu kamar.
"Menurutmu?" delik S tajam dan menuding ia yang terduduk di ruang tamu.
"Koma? Dia hanya rekan kerja."
"Oh? Dan perlukah tertawa-tiwi seperti tadi? Kalau kau menghargai perasaanku, jangan bawa-bawa Koma di antara kita!" desis S pada P.
"Kau mau rumah tangga kita tercerai-berai hanya karena dia?"
"Kalau memang inginmu begitu, putuskan saja segera. Aku ogah terus hidup seatap dalam ketakutuhan cinta. Sudah empat bulan seperti ini, P."
--

Talak satu dijatuhkan. Berikut talak kedua dan ketiga. S mengemasi barang miliknya yang tersisa. Rumah sepi, P masih di kantor. S termenung sendiri, "Lebih baik begini." Aneh rasanya nomina dan verba hidup berdampingan, tetapi tak bisa membentuk satu-kesatuan. Subjek dan predikat gagal mempertahankan kalimat utuh nan bahagia hanya karena koma menyusup di tengah-tengah mereka.
--

Inti ceritanya adalah jangan pisahkan subjek dan predikat dengan koma. Hal ini terkadang ditemukan pada subjek yang cukup panjang. Misalnya, "Salah satu atap plafon di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, sempat jebol." Ada yang tahu mana subjek dan predikat?

Subjeknya tentu saja salah satu atap plafon blablabla dan predikatnya sempat jebol. Kalimat lengkap wajib hukumnya mengandung subjek dan predikat, sementara objek, pelengkap, atau keterangan itu pemanis saja. Masih ingat cara mendapatkan gagasan utama kalimat, bukan? Tandanya hanya S dan P. Nah, sayangnya, koma telah menjadi pemisah tak diinginkan antara subjek dan predikat dan menjadikannya dua bagian yang berbeda sehingga mewujud kalimat tak lengkap.

Jadi, cermatlah menempatkan koma, ya!

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.