sumber gambar |
Malam ini pendapa Museum Sandi dipadati pengunjung. Rupanya, Komunitas Malam Museum sedang mengadakan diskusi seru mengenai erotika dalam Serat Centhini. Ini merupakan program diskusi perdana dari Komunitas Malam Museum Yogyakarta. For sure, I'll join the next meeting! Omong-omong Serat Centhini, sebagian besar dari kita mengenalnya dengan kamasutra Jawa. Hmm, tanggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak juga benar seluruhnya. Serat Centhini yang terkenal adalah Serat Centhini Kadipaten dibuat di saat Stamford Raffles berkuasa, nyaris bersamaan dengan penyusunan buku History of Java. Kedua buku ini sumbernya sama dan hasilnya sama. Apabila Serat Centhini disusun pada tahun 1814 maka buku History of Java oleh Stamford Raffles disusun pada tahun 1811. Serat ini ditulis selama sembilan tahun dan menghabiskan biaya sebesar 10.000 ringgit. Pakubuwana V Adipati Anomlah yang mengutus tiga orang sebagai penulis utama Serat Centhini, yakni Yasadipura II (kakek Ranggawarsita), Kyai Ranggasutrasna (ayah Ranggawarsita), dan Raden Ngabehi Sastradipura. Serat Centhini memiliki banyak versi, namun versi tertua dan dianggap induk dari Serat Centhini adalah Kidung Candhini dari Cirebon, Jawa Barat. Karena berasal dari Cirebon, bahasa yang digunakan di Kidung Candhini adalah bahasa Jawa pesisir. Serat Centhini--dengan judul asli Suluk Tembangraras--memiliki 722 pupuh* dan sekitar 31.000 tembang. Jenis tembangnya adalah tembang santri lelana (santri berjalan-jalan). Naskah Serat Centhini tergolong panjang karena terpisah menjadi dua belas jilid. Salah satu keunikan Serat Centhini ialah tidak adanya penggambaran keberadaan kolonial Belanda atau Inggris (kapal, bendera, benteng, dan lain-lain) dalam novel ini, padahal serat-serat lainnya menggambarkan hal itu. Alasan ini dapat ditelusuri dari salah satu pengarang Serat Centhini yang ternyata sangat antikolonial, ialah Kyai Ranggasutrasna. Ia menghilangkan hal-hal tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa Surakarta adalah kota yang merdeka dan tak pernah dijajah.
Pada zaman Pakubuwana VII, ditulislah naskah centhini pisungsung sebagai hadiah kepada ratu Belanda. Centhini pisungsung sejatinya ialah naskah centhini yang disalin ulang, namun hanya jilid kelima hingga kesembilan. Alasan pemilihan lima jilid ini tidak diketahui, namun lima jilid inilah yang paling erotis di antara dua belas jilid lainnya. Wacana mengenai keerotisan Serat Centhini terus diulang-ulang hingga kini, padahal isi Serat Centhini tidaklah semata berfokus pada aktivitas seks belaka.
Novel ini mengisahkan perjalanan Amongraga dan Cebolang dalam mencari makna hidup. Apabila Amongraga diceritakan melakukan perjalanan ke beberapa kota dan gunung dalam rangka ngelmu, Cebolang justru berpetualang dengan bebas dan berhubungan seks di sini sana. Istilah "kamasutra Jawa" Serat Centhini itu dapat ditarik dari pengalaman Cebolang, Jayengraga, dan Kulawirya. Yang membuat aku kaget adalah adanya cerita tentang hubungan seksual lelaki dengan lelaki, bahkan lelaki dengan jaran, yakni kuda! Gosh, bestiality, seriously?
Adegan seks lelaki dan lelaki terjadi di pondok pesantren antara Gus Kanjir dengan Jayengraga. Engggg, pondok pesantren banget? Berikut salah satu percakapan yang kudengar.
"Lebih besar mana, aku atau laki-laki lain?"
"Lebih besar punyamu, Jayengraga."
Sementara itu, adegan seks antara lelaki dengan kuda merupakan pengalaman Kulawirya. Suatu ketika ia mampir ke kandang kuda dan mendekatkan penisnya ke gembok jaran. Gembok jaran adalah vagina kuda. Usai menyudahi hubungan seks yang terbilang tak biasa itu, Kulawirya menghampiri penari ledhek dan berhubungan lagi dengannya. Cebolang dapat dikatakan memiliki petualangan seks paling banyak di Serat Centhini, salah satunya adalah dengan Bok Rara. Melalui deksripsi yang halus dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka menggunakan gaya WOT (woman on top). Mungkin inilah mengapa disebut kamasutra, ya? Ada pembahasan gaya-gaya hubungan seksual, sih. Jika membaca keseluruhan Serat Centhini, pembaca mendapatkan beberapa variasi tempat untuk berhubungan seksual dengan pasangan selain di ranjang, yakni di lesung, di dalam air (sungai), di kolam, dan lain-lain. Meskipun membahas hubungan seks yang tak biasa, hubungan seksual antara perempuan dan perempuan sama sekali tak diceritakan.
Motivasi berhubungan seks dalam Serat Centhini sebagaimana dituturkan Mas Rendra Agusta ada tiga. Pertama, atas dasar suka sama suka. Cebolang digambarkan sebagai sosok yang memiliki aroma badan yang wangi, disimbolkan sebagai luwak kembang, yang membuat laki perempuan jatuh cinta. Kedua, faktor keingintahuan. Dahulu ada tiga perawan tua bersaudara. Suatu ketika, Cebolang berada di dekat kediaman mereka dan memutuskan untuk menikahi ibu dari ketiga perawan tersebut. Didorong rasa penasaran, tiga perawan ini mengintip Cebolang dan ibu mereka dari luar kamar. Mengetahui hal itu, Cebolang mengajak mereka untuk berhubungan seks secara berbarengan. Foursome, I guess. FOURSOME, GOSH EVEN THREESOME IS OVERWHELMING! Hahaha. Motivasi terakhir ialah pekerjaan. Profesi sebagai gemblak dan ledhek (penari ronggeng) biasanya mengharuskan mereka tidur bersama orang lain. Gemblak tidur bersama waroknya, sementara ledhek tidur dengan penontonnya.
Kata centhini baru muncul di jilid keenam. Centhini ialah seorang cethi, yakni pembantu perempuan yang ndereke 'mendampingi' anak perempuan raja. Ia adalah abdi dalam Ni Ken Tembangraras. Alasan pemilihan Centhini sebagai judul serat belum diketahui pasti, sementara porsi cerita tentangnya hanya sedikit. Kehadiran Centhini dalam novel terlihat saat Amongraga dan Tembangraras sedang menikmati malam pengantin. Centhini berjaga di luar hingga pagi tiba.
Dalam jilid terakhir, Amongraga dan istrinya dikabarkan meninggal. Mereka berdua berubah menjadi ulat dan disantap Sultan Agung. Tatkala Sultan Agung menyetubuhi istrinya yang kemudian melahirkan Amangkurat I, jiwa Amongraga menitis di sosok pemuda itu. Bagaimana mungkin sosok sesuci Amongraga menitis dalam jiwa Amangkurat I yang semena-mena? Amangkurat I merupakan raja yang kejam karena membantai ribuan ulama dan mengizinkan perdagangan dengan pihak kolonial yang mana sangat dibenci oleh ayahnya.
Setelah mendengarkan penuturan lengkap dari filolog Rendra Agusta, dibukalah sesi tanya jawab. Aku tidak sempat mencatat semua pertanyaan, tetapi ada satu yang kucatat.
T: Ini, kan, ditembangkan di masyarakat. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap Serat Centhini apalagi anak-anak?
J: Arsip tentang Pakubuwana IV sangatlah sedikit jadi reaksi masyarakat atas Centhini belum diketahui. Namun karena cerita ini dibawakan dengan cara ditembangkan, tentu penangkapan masyarakat akan berbeda (tidak utuh) bila dibandingkan dengan membaca naskahnya. Dahulu kala, Serat Centhini termasuk serat sinengker, yakni dirahasiakan. Naskah ini hanya tersimpan di keraton sampai Pakubuwana VII sebab sebelum itu tidak ada tradisi menulis di luar keraton.
Apakah Serat Centhini hanya berbincang tentang seks? Tidak. Kalian bisa menemukan deskripsi berbagai lokasi di Jawa, jenis hewan dan tumbuhan, resep, budaya Jawa (upacara), dan perihal religi. Sebagai penutup, Serat Centhini bukanlah kitab vulgar, melainkan sebuah ensiklopedia budaya Jawa yang diwarnai dengan ajaran agama Islam (tasawuf) dan sarat pelajaran hidup. Kita dapat menarik banyak hikmah dari serat satu ini. Nah, mari kita membaca Serat Centhini! (Siapkan tenaga dulu ya, ini dua belas jilid, lho!)
Salam,
Nadia Almira Sagitta
(*) Kesatuan bait-bait dengan satu jenis tembang.
Daftar Pustaka:
Comments
Post a Comment