Rabu malam, 25 Oktober 2017, JAFF mengadakan JAFF Movie Night ketujuh sebagai pemutaran terakhirnya menjelang Jogja-NETPAC Asian Film Festival Desember nanti. Pemutaran dimulai sejak pukul 16.00, tetapi aku hanya menghadiri sesi kedua yang dimulai pukul 19.00. Malam itu ada empat film, yakni Jalan Pulang, Sisa Senja, Bagus, dan Ji Dullah. Yak, mari meloncat ke ulasan!
Jalan Pulang (2016)
sumber gambar |
Film
tugas akhir ISI ini membawa tema keluarga. Aku lupa nama tokohnya, mari
kita panggil ayah dan anak. Suatu pagi, ayah memasuki kamar anak
lelakinya kemudian mengepak baju-baju. Ia membangunkan anaknya
dan memintanya untuk mengantar ke Yogyakarta. Dari film, aku tahu ibu
anak ini sudah meninggal dunia. Si anak agak
uring-uringan ketika sang ayah mendadak mengajak ke Yogyakarta sebab ia tengah disibukkan dengan proses produksi film.
Selama
perjalanan, tidak hanya sekali mereka terlibat debat. Anak lelakinya
juga berulang kali berdecak kesal. Terlihat betul ada jarak tegas di
antara mereka. Ternyata, sang anak telanjur sakit hati pada ayahnya
karena tak pernah menghadiri pemutaran filmnya. Sementara
itu, ayah ingin membina ulang hubungannya dengan sang anak. Aku tahu
berdamai dengan masa lalu tidaklah mudah jadi penolakan anaknya dapat
kumengerti.
Turunlah hujan deras dan mobil mogok. Si anak lepas tangan dan meninggalkan ayahnya di mobil. Tatkala berteduh di warung kopi, si anak
memutar kenangan bersama ayah hari itu. Tebersit rasa tidak tega. Ketika
ayahnya jatuh di tengah jalan, si anak dengan sigap menolong ayahnya dan
berbaikan. Sayang, perjalanan menuju Yogyakarta merupakan kenangan
terakhirnya bersama sang ayah. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Cukup menyentuh, tetapi tidak sampai membuatku sesenggukan. Efek filmnya, sih, membuatku berpikir ulang bahwa waktu kita bersama orang tua tidaklah banyak. Nikmati selagi bisa. Film ini juga menjadi catatan bagi para orang tua bahwa setiap anak ingin diapresiasi, ingin jerih payahnya dihargai. Maka dari itu, luangkanlah waktu untuk anak
Kalau aku tidak salah ingat, pemeran ayah itu Mas Soeyik lagi. Dia sering sekali memerankan tokoh ayah. Aku pertama melihatnya di film Kleang Kabur Kanginan, film Pentas Terakhir, kemudian film ini. Hahaha, menjiwai, ya.
Nilai: 3
Cukup menyentuh, tetapi tidak sampai membuatku sesenggukan. Efek filmnya, sih, membuatku berpikir ulang bahwa waktu kita bersama orang tua tidaklah banyak. Nikmati selagi bisa. Film ini juga menjadi catatan bagi para orang tua bahwa setiap anak ingin diapresiasi, ingin jerih payahnya dihargai. Maka dari itu, luangkanlah waktu untuk anak
Kalau aku tidak salah ingat, pemeran ayah itu Mas Soeyik lagi. Dia sering sekali memerankan tokoh ayah. Aku pertama melihatnya di film Kleang Kabur Kanginan, film Pentas Terakhir, kemudian film ini. Hahaha, menjiwai, ya.
Nilai: 3
Sisa Senja (2016)
Di antara empat film, Sisa Senja adalah satu-satunya film dari luar Pulau Jawa, yakni Makassar. Sisa Senja bercerita tentang kerinduan orang tua pada sang anak yang menitipkannya di panti jompo. Film ini kurang menarik, malah cenderung membosankan. Alurnya terasa lambat karena berfokus pada tokoh utama yang banyak diam. Salah satu kekurangan film yang ingin kusorot di sini adalah perihal bahasa. Men, I appreciate your effort to use Indonesian formal style, but honestly it makes me cringe. Kaku sekali.
sumber gambar |
Di antara empat film, Sisa Senja adalah satu-satunya film dari luar Pulau Jawa, yakni Makassar. Sisa Senja bercerita tentang kerinduan orang tua pada sang anak yang menitipkannya di panti jompo. Film ini kurang menarik, malah cenderung membosankan. Alurnya terasa lambat karena berfokus pada tokoh utama yang banyak diam. Salah satu kekurangan film yang ingin kusorot di sini adalah perihal bahasa. Men, I appreciate your effort to use Indonesian formal style, but honestly it makes me cringe. Kaku sekali.
"Selamat pagi, Bapak. Bagaimana kabar Bapak hari ini?"
"Bapak sebaiknya membersihkan diri terlebih dahulu."
"Bapak, saya punya permainan. Apakah Bapak mau bermain dengan saya? Coba tuliskan warna kesukaan Bapak."
Jikalau
kalimat-kalimat tersebut dilontarkan dengan luwes, barangkali akan
mengurangi kecanggungan yang dirasakan penonton. Masalahnya, pembawaan
aktornya pun kaku. Menurutku, film ini akan lebih cair apabila menggunakan dialek
Makassar. Tidak mesti bahasa Makassar secara keseluruhan, bahasa
Indonesia beraksen Makassar saja cukup agar tidak terkesan kaku-kaku
amat. Pesan yang ingin disuguhkan pembuat filmnya, sih, bagus. Betapa
banyak orang tua yang telantar di panti jompo, padahal tidak semua ingin
berada di sana. Andai bisa memilih, tentu mereka memilih tinggal
bersama keluarga. Ini film pertama mengenai panti jompo yang kutonton dan sebagai pengingat untuk tidak menitipkan orang tua di panti jompo kelak. Terima kasih, Mbak Mas. Tingkatkan lagi kualitas untuk film berikutnya,
ya!
Nilai: 2
Bagus (2017)
Film besutan Mar'i Muhammad ini menawarkan akhir yang tidak terduga. Situasi penonton yang awalnya dipenuhi tawa dan tanya berganti sendu. Oh ya, kalau saja kau membaca, halo Mar'i! Kita pernah jumpa dan berkenalan di JAFF Movie Night 3 atau 4. Ahaha, tidak kusangka ternyata aku menonton karyamu dan tim kemarin. Oke, langsung menuju sinopsis cerita.
Mula-mula kamera menyorot seorang anak SD bernama Bagus yang pulang ke rumah. Di rumah ia mendapati kakak perempuannya sedang memasak. Kakaknya pamit ke suatu tempat dan tinggallah ia makan siang sendirian. Tiba-tiba Bagus diminta ibu dan bapak ke warung untuk membeli beras dan rokok. Bagus berpapasan dengan beberapa teman yang mengajaknya main, tetapi ia menolak karena harus ke warung. Pada adegan Bagus dan temannya aku sempat heran melihat ekspresi temannya yang kebingungan. Ada apa, ya? Sepulangnya ia ke rumah, Bagus ditanya sang kakak.
Nilai: 2
Bagus (2017)
sumber gambar |
Film besutan Mar'i Muhammad ini menawarkan akhir yang tidak terduga. Situasi penonton yang awalnya dipenuhi tawa dan tanya berganti sendu. Oh ya, kalau saja kau membaca, halo Mar'i! Kita pernah jumpa dan berkenalan di JAFF Movie Night 3 atau 4. Ahaha, tidak kusangka ternyata aku menonton karyamu dan tim kemarin. Oke, langsung menuju sinopsis cerita.
Mula-mula kamera menyorot seorang anak SD bernama Bagus yang pulang ke rumah. Di rumah ia mendapati kakak perempuannya sedang memasak. Kakaknya pamit ke suatu tempat dan tinggallah ia makan siang sendirian. Tiba-tiba Bagus diminta ibu dan bapak ke warung untuk membeli beras dan rokok. Bagus berpapasan dengan beberapa teman yang mengajaknya main, tetapi ia menolak karena harus ke warung. Pada adegan Bagus dan temannya aku sempat heran melihat ekspresi temannya yang kebingungan. Ada apa, ya? Sepulangnya ia ke rumah, Bagus ditanya sang kakak.
"Bagus, kamu ngapain beli beras sama rokok?"
"...disuruh ibu bapak, Mbak."
"Mbak, Bagus kangen ibu sama bapak..."
Jengjengjeng, saking kangennya hingga seolah-olah mendengar suara mereka. Aku menitikkan air mata, sedikit. Filmnya sederhana, tetapi bagus sesuai judulnya! Oh ya, adegan yang kusuka adalah adegan Bagus memberitahu penjual bahwa ia ingin berbelanja. Bagus bilang, "Tumbaaaaaas, tumbaaaas." dengan nada yang meliuk. Lucu, deh, jadi teringat masa kecil saat harus memanggil-manggil ibu warung, "Belliiiq, Ibu, mau belliiiq..."
Nilai: 4
Ji Dullah (2017)
Jengjengjeng, saking kangennya hingga seolah-olah mendengar suara mereka. Aku menitikkan air mata, sedikit. Filmnya sederhana, tetapi bagus sesuai judulnya! Oh ya, adegan yang kusuka adalah adegan Bagus memberitahu penjual bahwa ia ingin berbelanja. Bagus bilang, "Tumbaaaaaas, tumbaaaas." dengan nada yang meliuk. Lucu, deh, jadi teringat masa kecil saat harus memanggil-manggil ibu warung, "Belliiiq, Ibu, mau belliiiq..."
Nilai: 4
Ji Dullah (2017)
sumber gambar |
Film yang diputar terakhir in benar-benar menghibur. Favoritkulah malam itu! Kocak banget. Ji Dullah menyuguhkan fenomena haji di Jember utara. Bagaimana seseorang yang baru saja menyandang gelar haji dielu-elukan masyarakat. Kepulangannya disambut, kedatangannya dihormati, perkataannya dibenarkan.
Film ini menggunakan bahasa Madura Jember, tetapi dilengkapi teks berbahasa Indonesia. Pertama kudengar aktor-aktornya berbicara, aku terkenang keluarga Minangku di Medan. Logatnya sedikit mirip, hahaha. Aku memberikan nilai tambah untuk film-film yang mengangkat budaya lokal, misal menggunakan bahasa daerah, jadi film ini punya poin tambahan.
Abdullah Yasin yang bergamis putih dilengkapi peci, diarak di atas mobil pick-up dengan dua motor mendahului di depan. Wajahnya sumringah, tangannya melambai-lambai kepada masyarakat sekitar. Bahagia betul ia sebab telah menyandang gelar haji. Di kampung, ia berusaha menjaga sikapnya agar senantiasa tampil islami. Paling kocak ketika Ji Dullah bersedekah. Ia berdeham-deham dan mengucap bismillah dengan keras, ingin menarik perhatian. Hayo, siapa yang begitu?
Suatu malam di masjid, para pemuda kampung sedang berdiskusi tentang kepala desa dan menginginkan Ji Dullah untuk mencalonkan diri sebab ia dinilai bijak. Ji Dullah yang saat itu mencuri dengar percakapan dari dalam masjid tersenyum lebar dan semakin besar kepala. Bermula dari bujukan temannya, Ji Dullah pun nekat mencalonkan diri sebagai kepala desa, padahal kondisi keuangannya lagi seret. Berbagai lelucon yang disisipkan di film berhasil membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal.
Pada sesi tanya jawab, aku bertanya, "Apakah Ji Dullah berangkat haji dengan modal utang?" Kata Alif, sang sutradara, fenomena berangkat haji dengan berutang sebelumnya itu biasa di daerahnya, Jember utara, demi prestise. Kehebohan masyarakat saat mengantar dan menyambut para haji dan hajjah persis yang ditampilkan di film. Aku jadi teringat cerita tetanggaku di Makassar. Ia seorang haji dan sangat ingin dipanggil Pak Haji, persis si Ji Dullah ini. Kehormatan seseorang yang telah berhaji dianggap tinggi, terlepas apakah memang yang tersebut pantas disanjung puja karena sikapnya. Ah, semoga kita yang berhaji kelak senantiasa rendah hati dan menjaga sikap, ya. Jangan seperti Ji Dullah yang telah haji, tetapi masih mendatangi paranormal untuk memecahkan masalah, wkwkwk. Ji Dullah ya, bukan Ji Dulloh. Aku sempat terkecoh saat melafalkan namanya.
Nilai: 4,5
Abdullah Yasin yang bergamis putih dilengkapi peci, diarak di atas mobil pick-up dengan dua motor mendahului di depan. Wajahnya sumringah, tangannya melambai-lambai kepada masyarakat sekitar. Bahagia betul ia sebab telah menyandang gelar haji. Di kampung, ia berusaha menjaga sikapnya agar senantiasa tampil islami. Paling kocak ketika Ji Dullah bersedekah. Ia berdeham-deham dan mengucap bismillah dengan keras, ingin menarik perhatian. Hayo, siapa yang begitu?
Suatu malam di masjid, para pemuda kampung sedang berdiskusi tentang kepala desa dan menginginkan Ji Dullah untuk mencalonkan diri sebab ia dinilai bijak. Ji Dullah yang saat itu mencuri dengar percakapan dari dalam masjid tersenyum lebar dan semakin besar kepala. Bermula dari bujukan temannya, Ji Dullah pun nekat mencalonkan diri sebagai kepala desa, padahal kondisi keuangannya lagi seret. Berbagai lelucon yang disisipkan di film berhasil membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal.
Pada sesi tanya jawab, aku bertanya, "Apakah Ji Dullah berangkat haji dengan modal utang?" Kata Alif, sang sutradara, fenomena berangkat haji dengan berutang sebelumnya itu biasa di daerahnya, Jember utara, demi prestise. Kehebohan masyarakat saat mengantar dan menyambut para haji dan hajjah persis yang ditampilkan di film. Aku jadi teringat cerita tetanggaku di Makassar. Ia seorang haji dan sangat ingin dipanggil Pak Haji, persis si Ji Dullah ini. Kehormatan seseorang yang telah berhaji dianggap tinggi, terlepas apakah memang yang tersebut pantas disanjung puja karena sikapnya. Ah, semoga kita yang berhaji kelak senantiasa rendah hati dan menjaga sikap, ya. Jangan seperti Ji Dullah yang telah haji, tetapi masih mendatangi paranormal untuk memecahkan masalah, wkwkwk. Ji Dullah ya, bukan Ji Dulloh. Aku sempat terkecoh saat melafalkan namanya.
Nilai: 4,5
Sekian dulu ulasan hari ini. Sampai jumpa di ulasan-ulasan film berikutnya! Oh ya pembaca, jangan lewatkan praacara JAFF pada tanggal 17, 18, dan 19 November 2017 di Tebing Breksi. Akan ada open air cinema! Acara utamanya diselenggarakan tanggal 1--8 Desember 2017. Ikuti akun Instagram @jaffjogja untuk informasi lebih lanjut.
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment