Skip to main content

Kepunahan Bahasa

Pagi ini mengamati debat seru di Tumblr Qwanqwa tentang kepunahan bahasa. Salah seorang admin Qwanqwa, seorang linguis historis, memberikan pandangan yang heartless menurut saya, "Tenanglah, kepunahan bahasa itu alami. Nature doesn't give a fvck. It's not a giant issue. Jika bahasa terdokumentasi dengan baik, kita tidak benar-benar kehilangan bahasa itu." Ahahaha, patah hati saya membacanya. Namun, tidak mengapa. Katanya, sains tidak bisa dicampuradukkan dengan masalah personal dan emosi.

Saya tidak setuju dengan poin admin Qwanqwa yang menyatakan bahwa bahasa itu hanya permainan fonologi dan morfosintaksis yang diikat dengan makna. Karena definisi bahasa didasarkan pada lingkup itu saja, dokumentasi tanpa revitalisasi bahasa pun sudah cukup, itu menurut mereka. Padahal, bahasa itu alat: alat untuk berkomunikasi. Bahasa itu sekaligus wadah: wadah yang menyimpan kekayaan intelektual. Maka dari itu, ketika suatu bahasa berhenti digunakan maka bahasa itu telah punah, statusnya jadi dead languageActually, I have to read a lot of stuffs about whether some language considered as dead language or living language. Think about Latin and Esperanto. Latin don't have any speakers left but we still use its language in some academic terms. Esperanto on the other side is not a natural language, it's constructed. Despite of it, some people try to teach and use Esperanto to their babies to generate a native speaker of Esperanto.


Meskipun suatu bahasa telah didokumentasikan, tetap saja ada yang hilang. Pasti beda rasanya melihat suatu bahasa dalam buku dengan mendengar langsung bahasa itu digunakan oleh penuturnya. Bahasa yang mati, ya tetap mati, walaupun sudah didokumentasi.  Dokumentasi hanya arsip.
Kita bisa berupaya untuk menjaga suatu bahasa dari kepunahan. Kita memang tidak bisa memaksa suatu komunitas bahasa untuk menggunakan bahasa yang tidak lagi dianggap berguna, tetapi kita bisa menawarkan cara mempertahankan bahasa kepada mereka. Menawarkan, bukan memaksa. Toh, mempertahankan bahasa itu hak mereka, bukan kita sebagai peneliti. If they're interested, start working with them, if they're not so...let it be.

Duh, saya omong apa. Pandangan saya di sini juga terpengaruh oleh pandangan Tumblrian lain. Ini sekadar rangkuman singkat dari debat barusan. Tahu tidak, saya berulang kali menghapus argumen saya di tulisan ini karena ternyata masih bolong sana-sini. Hahahaha kentara kurang membaca. (peace!)

Cek Tumblr www.qwanqwaproject.tumblr.com untuk informasi lebih lengkap. Qwanqwa adalah salah satu blog ilmiah yang membahas soal linguistik. They put a lot of effort to write an article. ♡ Jadi, pagi ini mari kita iqra'!

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun