Skip to main content

Lelayang dan Ruah Bahagia Sebuah Keluarga

sumber gambar

Deretan manusia di J.Co J-Walk menyambutku sore itu. Ya ampuuuun, betapa berjubelnya orang demi dua kotak donat! Aku bergegas ke CGV untuk mengejar sesi pertama pemutaran film JAFF (Jogja - NETPAC Asian Film Festival) Movie Night. Film yang diputar hari itu adalah film-film yang mendapatkan danais (dana istimewa) dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta pada tahun 2016. Jadi, apakah filmnya akan keren? Tentu saja, kan, sudah dikurasi sebelumnya. Waktu itu 17.40, masih tersisa dua puluh menit sampai penghabisan sesi pertama.
"Mbak, sebentar lagi selesai. Nonton sesi kedua aja, ya?"
"Oh, oke. Pukul 19.00, kan? Saya mau salat dulu."
"Silakan, Mbak. Dulu nonton JAFF 4 juga, ya?"
"Eh iya, kok tahu?"
"Saya hapal muka Mbak."
Tersanjung juga rasanya diingat seseorang, hahaha. Setelah salat aku kembali lagi ke lokasi dan mendapati ruangan kosong. Balada datang lebih awal. Mendekati pukul 19.00, satu per satu penonton memasuki ruangan dan memilih posisi untuk lesehan. Film yang digelar malam itu secara berurutan adalah Happy Family, Kleang Kabur Kanginan, dan Ruah.

Happy Family (2016)

Adegan Happy Family dibuka dengan sorotan jemari bersarung tangan hitam yang sedang mengisi formulir pengiriman uang ke Indramayu. Sejak awal, aku menduga tokoh utama film seorang wanita bercadar sebab lazimnya wanita bercadar mengenakan sarung tangan hitam. Benarlah, tokoh utama kita bernama Kusuma dan ia mengenakan cadar. Kusuma bekerja di Yogyakarta sebagai pegawai salon plus-plus, sementara ayah Kusuma tinggal di Indramayu sebagai penjaga masjid. Sendirian dan merasa kesepian, sang bapak berusaha menelepon Kusuma, tetapi berulang kali teleponnya ditolak. Ia pun memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta bermodal alamat Kusuma dari agen penyalur tenaga kerja. Di tengah film penonton menyaksikan kegiatan Kusuma, memijat, menyabuni, dan sesekali tidur dengan pelanggan setelah ditetapkannya tambahan tarif. Usai kerja Kusuma kembali mengenakan jubah dan cadar hitamnya. Pemandangan yang sungguh kontras di sebuah salon plus-plus. Pada akhirnya, Kusuma dan sang ayah bertemu juga, tetapi wajah ayah ditutupi kantung kertas. Mengapakah? 

Eden berkata poin itu disengaja untuk menunjukkan reaksi seorang ayah yang begitu alim dalam menyikapi kenyataan profesi sang anak. Kantung kertas berlaku sebagai pembatas, pemberi jarak antara ayah dan anak. Sangat mungkin bagi ayah Kusuma mengalami kecewa mendalam terhadap pilihan anaknya. Makna kantung kertas itu ternyata dalam, ya?

Ketika aku menanyakan alasan pemilihan tokoh bercadar, Eden mengutarakan simbol cadar itu berfungsi untuk memberikan rasa aman terhadap Kusuma. Kusuma yang diketahui sedang hamil dapat menyembunyikan kehamilannya dari masyarakat dengan menggunakan jubah lebar. Hmm, tetapi kurasa jawaban itu masih kurang memuaskan. Mengapa tidak berjilbab lebar saja alih-alih cadar? Semisal sejak awal Kusuma telah bercadar, mengapa ia tidak meninggalkan cadarnya sekalian? Bukankah ia akan lebih dihakimi bila masyarakat menemukannya keluar dari salon plus-plus? Apa pun jawaban yang lebih sesuai, aku terenyak membayangkan kemungkinan terpaksanya Kusuma berkecimpung di sana. Dalam hati ia berontak, tetapi ia tidak bisa apa-apa. Barangkali melacur adalah satu-satunya jalan yang ia temui agar dapat mengirimkan sekian ratus ribu kepada ayah di kampung. Kita tak pernah tahu. Yang kuketahui pasti, Kusuma tidak bahagia dengan pilihannya itu. Hal ini tergambar jelas pada ekspresi wajahnya yang kosong. Satu pertanyaan lagi mengenai film ini, sisi bahagia manakah yang ingin disajikan dalam film ini? Konstelasi happy family-nya Eden Junjung itu seperti apa?

Aku menandai satu kalimat Eden saat sesi diskusi perihal rindu, "Ketika kita merasakan rindu, semestinya kita bersyukur. Itu pertanda kita pernah dekat dengan orang yang kita rindukan tadi." Duh, Mas, duuuuh. Favoritku banget! Nah, yuk kita bahas film kedua, Kleang Kabur Kanginan!

Kleang Kabur Kanginan (2016)

sumber gambar

Film besutan Riyanto Tan ini menceritakan sepasang suami istri di pegunungan yang berusaha untuk mendapatkan kabar dari anaknya. Anaknya, Teguh, kini bekerja dan merantau ke Jakarta. Namun, bagaikan kacang yang lupa kulitnya, anak mereka tidak juga memberi kabar kepada kedua orang tua. Fokus cerita ini adalah keseharian suami istri yang menunggu-nunggu telepon genggam mereka berdering. Sang suami bolak-balik ke penjual pulsa untuk mengonsultasikan masalah ponselnya yang tak juga menerima panggilan telepon. Karena berhari-hari tak mendapat kabar dari Teguh, istrinya begitu murung. Kerinduan tak terperi pada anak terbayang di wajah mereka berdua.

Tampaknya bapak punya harapan dan cita-cita yang besar untuk Teguh. Bapak tidak membiarkan Teguh bernasib sama seperti dirinya yang sehari-harinya ngarit rumput. Hal itu muncul dalam dialog berikut.
"Bu, si Teguh jangan dibiarkan terlalu capek ngarit. Dia sekolah saja."
"Lho Pak, kalau tidak dibiasakan ngarit nanti siapa yang meneruskan pekerjaan bapak?"
-
"Nak, kamu mesti sekolah yang baik supaya maju. Sekali maju, jangan pernah menoleh ke belakang."
Teguh, sepertinya, salah mengartikan perkataan bapak. Betul, ia sudah sekolah tinggi hingga merantau ke ibukota. Sayangnya, ia menerjemahkan kalimat ini secara harfiah, "Jangan pernah menoleh ke belakang." Ia tak pernah menelepon ayah ibu, apalagi pulang ke rumahnya di desa.
Di manakah posisi layang-layang dalam film ini?
Teguh semasa kecilnya hobi bermain layangan, begitu pula dengan sang bapak. Ada satu dialog yang masih kuingat, perkataan ibu Teguh kepada suaminya, "Layang-layangnya jangan diterbangkan tinggi-tinggi, Pak. Nanti talinya putus." Hmm. Kalimat itu dalam, lho, kalau direnungkan baik-baik dan dihubungkan dengan konteks cerita.

Jangan tinggi-tinggi menyekolahkan anak, nanti anak itu berpotensi melupakan tali (kekerabatan) dengan keluarga karena begitu asyik dengan dunianya yang baru. Pedih, men, pedih. Apakah memang begitu kenyataan yang ada kini, pendidikan merenggangkan keeratan keluarga? Aku nangis, sih, ketika menonton. Definitely my favorite film that night. :')

Ruah (2016)

Tanpa berpanjang lebar, ini dia ulasan film ketiga sekaligus terakhir: Ruah. Film ini agak surealis, tidak masuk akal. Cerita bermula dengan pengenalan tokoh Halim yang rajin bersedekah. Ia menjemput tiga kambing miliknya karena hendak disumbangkan ke sebuah panti asuhan. Di mobil bak berisi tiga ekor kambing, berdiri sebuah lukisan Ratu Pantai Selatan, hadiah untuknya dari petinggi pemerintahan. Sumbangan kambing Halim ke panti asuhan ternyata punya maksud terselubung. Hal itu ia lakukan untuk menunjukkan kemurahan hatinya di depan janda muda yang ia bidik menjadi istri kedua. Isu poligami, saudara-saudari, sangat cocok diputar akhir-akhir ini mengingat isu poligami adalah isu termarak di Facebook.

sumber gambar

Halim yang sudah beristri mengutarakan niatnya untuk menikah lagi kepada sang istri. Izinkan aku membahasakan dialog mereka--sesuai ingatanku--pada kutipan di bawah ini, ya.
"Aku tidak sudi kamu menikah lagi!"
"Lho, sebagai makhluk itu kita punya kewajiban sosial kepada sesama. Aku ini mau menolong tetangga kita yang ditinggal suami. Tujuan aku menikah lagi ini semata-mata karena ibadah."
"Ibadah, kan, tidak harus poligami, Pak."
"Coba ingat, apa pernah aku menelantarkan kamu dalam hal materi? Tidak, kan? Aku sanggup untuk menafkahi satu orang lagi."
"Aku tidak mau tahu, selama aku hidup kamu tidak boleh menikah lagi! Kalau kamu tetap bersikeras, aku menyumpahi apa yang kamu miliki saat ini ludes semua."

Tidak mengindahkan ancaman sang istri, ia tetap melangsungkan akad dengan Mega, calon istri keduanya. Kemalangan pun berderet-deret menimpanya. Istri pertamanya jatuh sakit dan halusinasi mendominasi hidup Halim. Suatu ketika, Halim terkejut mendapati Munah, istri pertamanya, berbaring di kasur padahal di saat yang sama istrinya itu sedang dirawat di rumah sakit. Adegan aneh lainnya, ia melihat Mega bersama para tokoh perempuan sampingan satu per satu memenuhi rumahnya. Halim yang hendak salat demikian terganggu dengan rumpian "istri-istri"-nya. Pada akhirnya, seluruh istri itu terkapar di lantai karena dipentung Halim. Kejadian ini rupanya membangkitkan amarah Ratu Pantai Selatan, "Mengapa kau mengasari istri-istrimu?" hardik Nyi Roro Kidul. Halim pun dibawa ke bukit dengan mobil baknya dan ditinggalkan sendiri di sana dalam keadaan terikat. There, that's the end of his life, wkwkw.

Hikmah film yang disutradarai Makbul Mubarak ini adalah jangan coba-coba memiliki banyak istri. Serius, omelan satu istri saja sudah bikin pusing. Bagaimana jika istri tumpah ruah di rumah? Innalillahi, si suami bisa stres barangkali. Hahaha. Eh, tetapi serius, jika ingin berpoligami silakan siapkan alasan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Jangan sampai kita mengejar satu kebaikan yang berpotensi meruntuhkan kebaikan yang sudah dibangun sebelumnya. Uhuy, mantap!

Kembali ke judul, "Lelayang dan Ruah Bahagia Sebuah Keluarga" ini sesungguhnya diambil dari ketiga judul film. Kleang Kabur Kanginan--yang dalam bahasa Inggrisnya the missing kite--kujadikan kata pertama, yaitu lelayang (layang-layang). Kemudian disusul dengan ruah kebahagiaan dari sebuah keluarga bahagia-nya Happy Family. Hahaha, maksa ya? >v<

Ketiga film fiksi JAFF Movie Night kelima ini sukses melayangkan pikiranku ke rumah dan menerbitkan rindu. Ya ampun, sudah berapa lama aku tidak menelepon keluarga lebih dahulu? Masa harus menunggu ditelepon, sih? Huhuhu. Sering-seringlah kalian ingat bahwa ada keluarga yang menanti kehadiran kalian di rumah.  Jangan pernah lupakan hal itu, jangan.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

Comments

  1. Kalimat terakhirnya bisa balik lagi ke resensi film kedua -kalo di standup namanya call back- yang dialog lelayang jangan diterbangkan tinggi-tinggi, nanti talinya putus.
    Mari menyambung temali.
    Nice share, Nad!

    ReplyDelete
  2. lalu aku jadi ingat keluarga..
    sering mengabaikan telpon mereka duuhhh... kudu mewek rasanya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.