![]() |
sumber gambar |
Halo, halo!
Kemarin aku mampir ke toko buku Togamas yang terletak di ujung Jalan Affandi. Benar-benar di ujung dekat Ringroad Utara. Togamas ini merupakan toko buku favorit aku di Yogyakarta. Tentu ada alasan mengapa aku memilih Togamas daripada penerbit mayor sebelah. Pertama, aku menemukan banyaaaak sekali buku-buku dari penerbit indie di Togamas. Buku-buku indie ini seringkali hadir dengan judul-judul yang menarik dan berisi. Beragamnya penerbit itu juga bisa dijadikan referensi kalau suatu ketika kamu mau menerbitkan buku. Alasan kedua, diskonan, wuhuuw! Buku-buku di Togamas selalu diskon, entah 15%, 20%, macam-macam, deh. Tanda diskon tercetak di label harga jadi hampir pasti tak ada batas hari pembelian untuk mendapatkan diskon-diskon menggiurkan. Tak cukup dengan itu, Togamas membuat hari-hari tertentu untuk diskon spesial sebesar 25%. Karena aku penggemar novel, aku kerap menyambangi Togamas Kotabaru tiap hari Kamis. Sementara itu, Togamas Affandi mendiskon buku berlabel novel pada hari Selasa.
Nah, karena kemarin hari Selasa, aku menyempatkan mampir ke Togamas Affandi sepulang kantor. Penasaran, sih, sebab kata orang-orang Togamas Affandi jauh lebih leluasa untuk pengunjung. Togamas Kotabaru memang sempitnya nggak ketulungan, sih. Kurang nyaman untuk mengeksplor buku. Ternyata, Togamas Affandi memang lebih lapang. Bangunan terdiri dari dua lantai, di mana lantai satu merupakan toko buku juga alat tulis dan lantai dua disulap menjadi kafe. Bisa banget, tuh, setelah berbelanja, kamu nongki cantik di lantai dua.
Di sana aku membeli satu buku, yakni buku terbarunya Okky Madasari berjudul Yang Bertahan Binasa Perlahan.
Aku lama di toko buku gegara menelusur judul-judul yang baru tertangkap mata untuk dibeli pada kunjungan selanjutnya.
Okay. Kita beranjak ke daftar buku yang kutemukan kemarin, ya! :)
- Drama: Hakim Sarmin Presiden Kita - Agus Noor
- Drama: Mangir - Pramoedya Ananta Toer
- Mimpi Orang Sinting - Fyodor Dostoyevsky
- My Uncle's Dream - Fyodor Dostoyevsky
- Orang-orang Malang - Fyodor Dostoyevsky
- Dinding - Jean Paul Sartre
- Saya Tidak Boleh Berbicara Sejak Bayi Demi Kebaikan-Kebaikan - Edi AH Iyubenu
- Proses - Franz Kafka
- Kitab Para Pencibir - Triyanto Triwikromo
- Laughable Loves - Milan Kundera
- Tuhan Maha Asyik - Sudjiwo Tedjo
- The Sun Also Rises - Ernest Hemingway
- Stasiun - Putu Wijaya
- Satu Setengah Mata-mata - Nirwan Dewanto
- Tentang Kucing - Doris Lessing
- Antologi Cerpen Rusia
- Of Mice and Man - John Steinbeck
- Beauty and Sadness - Yasunari Kawabata
- Monsoon Tiger and Other Stories - Rain Chudori
- The Pearl That Broke Its Shell - Nadia Hashimi
- 33 Senja di Halmahera - Andaru Intan
- The High Mountains of Portugal - Yann Martel
- Putri Komodo: Sebuah Novel - Michael Yudha Winarno
Bahas sedikit boleh, kan?
Dua buku drama di atas sebenarnya akan kujadikan pengobat rindu atas matakuliah drama dulu. Dulu dosenku memberikan setumpuk naskah untuk dibaca dan dianalisis. Bu Riris, sungguh aku kangen. Membaca drama sama serunya tatkala membaca puisi atau prosa, sih. Tidak percaya? Coba atuuuh. Selanjutnya, karangan Fyodor Dostoyevsky. Boleh dibilang, aku ini sangat jarang menyentuh karya sastrawan luar. Dari tiga karya yang kuincar di atas, aku hanya pernah dengan My Uncle's Dream. Fyodor ini merupakan sastrawan Rusia. Sastrawan Rusia yang kubaca karyanya hanya Leo Tolstoy melalui Anna Karenina. Tentunya banyak banget sastrawan Rusia terkenal lainnya, sebutlah Nikolai Gogol, Anton Chekhov, dan Alexander Pushkin. Buku Antologi Cerpen Rusia tampaknya dapat mengantar kita kepada karya-karya mereka. Kemudian, ada Sartre. Demi apa pun, aku tak pernah mencari tahu beliau ini siapa, kok malah mau beli bukunya. Yang kutahu, nama dia pernah beberapa kali muncul di kelas filsafat. Aku malah baru tahu beliau ini novelis! Aku berencana membeli bukunya karena mau tahu pemikirannya saja. Buku di urutan tujuh dengan judul panjang itu membuatku penasaran. Tentang apa, sih, kok judulnya aneh. Tidak boleh berbicara sejak bayi demi kebaikan? Kebaikan siapa? Nama penulisnya tidak kukenali, barangkali ini karya perdana? Lalu, buku-buku karangan Steinbeck, Kundera, Kafka, Hemingway, dan Kawabata hendak kubeli karena isu FOMO-ku, fear of missing out. Everyone seems to know their works while I'm not! Aku tidak mau saja gagal diajak diskusi buku hanya karena belum baca atau dicibir, "Anak sastra, kutu buku, tetapi tidak tahu buku itu?" Urgh. The worst thing ever! Mereka memang sastrawan terkenal, sih, aku saja yang selama 23 tahun hidup belum bergerak menyentuh mahakarya mereka.
Buku Putu Wijaya dan Sudjiwo Tedjo itu juga menjadi pilihan karena ingin memperluas khazanah sastra, terutama sastra Indonesia. Tulisannya Nirwan Dewanto punya cerita tersendiri. Aku mengenal namanya dari sebuah pameran lukisan tulisan yang ia helat di YATS Colony Yogyakarta. Dari sana, aku baru tahu dia itu penyair dan kritikus sastra. Tulisan-tulisannya yang dipamerkan puitis jadi aku sungguh penasaran ketika bukunya beredar di toko buku. Kitab Para Pencibir tertangkap mataku karena sampulnya bagus, baik depan maupun belakang. Di sampul belakang, kita akan menemukan tulisan berikut.
"Rahasiakanlah cintamu
pada-Ku. Jangan sampai angin mendengar meski sesiut apa pun.
Rahasiakanlah cintamu pada-Ku. Jangan sampai senja melihat meski sezarah
apa pun. Rahasiakanlah cintamu pada-Ku. Jangan sampai langit meraba meski selembut apa pun. Jadi, mengertilah,
cintaku, sembunyikanlah tangismu meski seluka apa pun. Diamlah. Aku
membenci dunia yang gaduh."
Wah, telak. Serasa diingatkan untuk senantiasa menjaga diri dari riya. Aku tidak tahu pasti apakah buku ini akan berputar di persoalan agama atau tidak, tetapi tulisan dia ini cukup mengena. Kita lanjut ke buku 33 Senja di Halmahera. Jujur saja, aku tertarik karena pengarang mengangkat kisah dari luar pulau Jawa. Harapanku ketika melihat judul ini adalah mendapatkan wawasan tentang salah satu daerah di Indonesia, terserah apakah akan berbicara soal sejarah atau budaya. Jarang, tuh, sastra yang mengangkat kedaerahan jadi tatkalanya mencuat ke permukaan mestilah didukung!
Rain Chudori adalah anak dari Leila S. Chudori yang kugemari. Karya Leila yang sudah kubaca adalah Pulang (suka banget!), Malam Terakhir, dan 9 dari Nadira. Ketika aku tahu anaknya melahirkan karya dan berbahasa Inggris pula, harus bacaaa toh, ya! Untuk buku The High Mountains of Portugal aku tak punya alasan khusus. Hanya melihat label "The Author of Life of Pi", aku seketika terpengaruh. Hahaha, padahal nonton filmnya saja tidak. Duh. Di daftar itu juga ada buku peraih penghargaan Nobel, yakni Tentang Kucing. Aku lagi cari-cari, nih, buku yang menang Nobel. Jika selama ini aku membeli buku dengan label pemenang sayembara DKJ atau Khatulistiwa Literary Award, mengapa tidak mencoba baca karya peraih Nobel sastra? Bukankah seharusnya lebih wah? Setuju, tidak? Novel The Pearl That Broke Its Shell berkisah tentang seorang perempuan Afganistan yang karena kondisi khusus mendapatkan hak-hak seperti lelaki. Terakhir, ada novel Putri Komodo. Sama seperti sebelumnya, tema sentral novel ini adalah perempuan, khususnya woman trafficking. Topik yang agak jarang, tetapi penting.
Itulah dia ke-23 buku incaran yang kutemukan di Togamas kemarin. Barangkali daftar ini dapat menjadi bahan pertimbangan teman-teman untuk memilih buku bacaan juga menjadi referensi kalau-kalau kalian ingin menghadiahkanku sesuatu. Buku saja, buku! Tentunya aku akan gembira sekali. Hahaha bisa saja, nih, aku. :D
Baiklah, sampai jumpa di tulisan berikutnya!
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment