![]() |
sumber gambar |
"Personally, I’m one of those people who doesn’t like to slow down. I enjoy living fast. It’s an exciting world out there just waiting to be explored! But I’ve found glimpses of a life lived slower and those glimpses have been windows into a more satisfied, more intentional life." (Jacob Jolibois)
Fast paced. I'm one of those people too who enjoy living fast. Semenjak bekerja di Yogya, aku tak pernah tenang bila akhir pekan hanya kuhabiskan di rumah. Kini bila ditanya, "Kamu ngapain hari ini?" hampir pasti kujawab jalan-jalan! Sang penanya pun hanya geleng-geleng karena menurutnya aku berkeliling terus, melompat dari acara satu ke acara lain, seakan energiku tak kenal kata habis. Padahal, aku seringkali jatuh sakit karena letih. Iya, sakit yang kubuat sendiri karena memaksakan diri. Semua ini bermula dari kebebasan yang kuperoleh dan dukungan dari lingkungan tempat tinggal yang tak henti menawarkan acara keren. Persis seperti kutipan di atas yang bila kukaitkan dengan Yogya akan menjadi seperti ini, "Yogyakarta penuh acara seni. Kapan lagi aku bisa menikmati? Kota ini harus, kudu, wajib dieksplor tiap sisinya!" Kemewahan seperti ini tak dapat kuperoleh seketikanya aku kembali ke rumah. Tak ada lagi pulang larut malam yang berakibat tak bisanya menikmati acara-acara seni atau pemutaran film yang umumnya dilaksanakan malam hari. Aduh, memikirkannya saja aku pening! Mengingat akan diringkusnya segala kemewahan itu dalam hitungan bulan, aku selalu memenuhi pekananku dengan bermacam agenda.
Fast paced. I'm one of those people too who enjoy living fast. Semenjak bekerja di Yogya, aku tak pernah tenang bila akhir pekan hanya kuhabiskan di rumah. Kini bila ditanya, "Kamu ngapain hari ini?" hampir pasti kujawab jalan-jalan! Sang penanya pun hanya geleng-geleng karena menurutnya aku berkeliling terus, melompat dari acara satu ke acara lain, seakan energiku tak kenal kata habis. Padahal, aku seringkali jatuh sakit karena letih. Iya, sakit yang kubuat sendiri karena memaksakan diri. Semua ini bermula dari kebebasan yang kuperoleh dan dukungan dari lingkungan tempat tinggal yang tak henti menawarkan acara keren. Persis seperti kutipan di atas yang bila kukaitkan dengan Yogya akan menjadi seperti ini, "Yogyakarta penuh acara seni. Kapan lagi aku bisa menikmati? Kota ini harus, kudu, wajib dieksplor tiap sisinya!" Kemewahan seperti ini tak dapat kuperoleh seketikanya aku kembali ke rumah. Tak ada lagi pulang larut malam yang berakibat tak bisanya menikmati acara-acara seni atau pemutaran film yang umumnya dilaksanakan malam hari. Aduh, memikirkannya saja aku pening! Mengingat akan diringkusnya segala kemewahan itu dalam hitungan bulan, aku selalu memenuhi pekananku dengan bermacam agenda.
Am I satisfied? Yes.
Seorang teman pernah berkata begini tatkala aku mengeluhkan padanya mengenai kondisi badan yang tidak prima, "Ya sudah. Berarti kamu bisa istirahat di rumah bareng keluarga. Bisa baca buku juga." Aku terperangah dengan jawabannya karena kuanggap aneh. Mengapa harus diam di rumah ketika seharusnya bisa mengeksplor lingkungan sekitar? There are so many things to do out there why do you keep yourself at home? Baca buku bisa lain kali, berkumpul dengan keluarga bisa hari-hari lain. Tiap malam pun jumpa. Akan tetapi, acara? Yeah, I hear that. Aku memprioritaskan yang lain dibandingkan harta paling berharga, but that's just the way I feel, honestly.
Slow down. Sampai ketika aku memulai tantangan baca tahunan dari Goodreads beberapa minggu lalu, aku menemukan indahnya tidak keluar rumah. Pekanan kini lebih banyak yang kuhabiskan dengan duduk diam membaca, meresiki meja rias, mengurusi tumpukan baju, atau sekadar ngobrol dengan om tante. Yang katanya rutinitas ternyata mungkin mengistimewa ketika kita menikmati setiap detiknya. Is it a part of minimalism lifestyle? Maybe.
Perihal slow down, aku mau menceritakan pengalaman dua hari lalu ketika aku untuk pertama kalinya menghabiskan sore di luar rumah tanpa tujuan jelas, tidak berbuat apa-apa, hanya duduk diam di bus. Saat itu sebenarnya aku ingin mengunjungi pameran seni grafis. Entah kenapa, aku memilih naik TransJogja yang notabene lelet dan memiliki risiko terjebak macet. Aku duduk tenang menunggu bus dengan sebuah novel di genggaman juga duduk tenang dalam bus dengan novel yang lekat di penglihatan. Aku menyadari waktuku untuk menikmati pameran sebelum galeri tutup tinggal sedikit maka aku tidak beranjak ketika bus mencapai halte tujuan. Malahan, aku meneruskan perjalanan entah ke mana, bertekad menghabiskan novel yang tinggal beberapa halaman. Aku akhirnya turun di halte yang belum pernah kusambangi sebelumnya lalu memesan Gojek untuk pulang ke rumah. Padahal, aku sudah cantik berdandan, sudah pula rapi berpakaian. Orang di rumah tahunya aku dari pulang berjalan-jalan, nyatanya aku hanya duduk diam dalam bus. Kupikir-pikir lucu juga. I enjoy my own company that evening. No conversation with people. Did not disturbed by any kind of notifications. Just me and my book in the crowd. Ternyata nikmat juga seharian tanpa agenda. Tidak ada pula penyesalan karena tidak menghadiri acara karena sebagai gantinya aku hanyut dalam kata-kata liris Knut Hamson--aku membaca Victoria sore itu.
Jika kamu seseorang yang mirip denganku, selalu merasa ada yang kurang dalam hidup, selalu merasa harus melakukan banyak hal agar diidentifikasi orang-orang, dan pada akhirnya segala hal dilakukan dengan terburu-buru karena banyak hal lain yang mengantre di belakang, cobalah mengerem kegiatanmu sejenak. Luangkan white space, sebuah ruang kosong tanpa agenda yang berderet-deret, untuk dirimu tiap minggu. Kita semua butuh momen white space agar tetap waras. Find your dolce far niente, sweetness of doing nothing.
I started to find that minimalism lifestyle is kinda interesting. Thank you No Side Bar for your articles! This writing based on their article too. You should check it out! :)
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment