Oleh: Nadia Almira Sagitta
Sang ibu, mengayuh sepedanya pelan.
Rapuh.
Jantung hatinya memeluk dari belakang.
Erat, tak ingin lepas.
Enggan terjatuh.
Sepasang bola mata kecil memandang sekeliling.
Ya, mata seorang anak dalam pelukan ibunya.
Terkagum oleh rumah-rumah megah.
Yang bertengger di kiri-kanan jalan.
Berusaha membandingkannya dengan gubuk reyot, tempat tinggalnya, berdua ibunya.
Tiba-tiba matanya menangkap bayangan benda.
Melaju kencang, melintas di sampingnya.
Tergerak hatinya untuk bertanya kepada ibu tercinta.
"Mak, kapan kita punya motor?"
Sang ibu tersentak, berpikir keras.
Apa gerangan jawaban yang pantas diberikan?
Suami yang telah lama tiada, memaksanya bekerja menyambung hidup.
Hidupnya dan juga sang buah hati.
Ibu menjadi seorang tukang cuci.
Dengan upah yang tentu tak seberapa
Mana pulalah sanggup membeli motor...
Sepeda butut satu-satunya adalah harta peninggalan sang suami.
Tak pernah terlintas dalam pikiran sang ibu untuk menggantinya dengan kendaraan yang lebih baik.
Sebenarnya, ingin hati memenuhi permintaan anak semata wayangnya itu.
Maklum, batin seorang ibu.
Beliau selalu ingin membuat hati anaknya senang.
Memenuhi seluruh keinginannya.
Semua hati seorang ibu berkata demikian.
Namun apa daya, kondisi ekonomilah yang tak memungkinkan.
Ibu itu menampakkan senyum teduhnya.
Menatap lekat wajah bocah kecil tersebut.
Dan kembali mengayuh sepeda.
"Maafkan ibu, nak." pikirnya.
Terus mengayuh pedal sepedanya hingga tak tampak lagi.
Menghilang di balik tikungan jalan.
Comments
Post a Comment