Oleh: Nadia Almira Sagitta
Kerut-merut di wajahnya.
Terhias peluh.
Diusapnya sesekali dahi yang basah oleh keringat.
Berkonsentrasi pada pipa bocor di hadapannya.
Bekerja melawan matahari yang sedang berada di ubun-ubun.
Ia tak sadar, seorang anak kecil memandangnya sedari tadi.
Bahkan ia tak menyadari, anak itu berdiri di hadapannya kini.
Menyandang ransel kuningnya, memberi senyum ramah.
Anak itu mengerucutkan bibir, membesarkan kedua bola matanya.
Lantas berucap, "Bapak... Mengapa bapak bekerja seperti begini?"
Ditegur seperti itu, bapak yang bermandikan peluh menolehkan pandangannya kepada si bocah.
Ditatapnya mata anak itu, dalam.
Seolah mencari-cari sesuatu.
Menguak kenangan lama.
Yang kini, disesalinya.
Dahulu, ia berkesempatan untuk menimba ilmu.
Mendapatkan beasiswa.
Sesungguhnya bapak ini seorang yang pintar.
Bulan demi bulan berlalu dengan baik, hingga ia salah bergaul.
Yang lantas menjerumuskannya kepada jurang kemalasan.
Mulai malas belajar, membangkang pada guru.
Sampai akhirnya beasiswa pun terlepas dari tangannya.
Hendak melanjutkan sekolah, uang tak ada.
Orangtua nya begitu sederhana.
Makan sehari 2 kali saja sudah mengucap syukur.
Sekolah lagi? Tak mungkin.
Angannya menjadi seorang insinyur, pupus.
Panas setahun, dihapus hujan sehari.
Begitulah pepatah yang ia dengar semasa SD dulu.
Dia tertohok dengan kenyataan bahwa ia tak dapat lagi bersekolah.
Kesempatan beasiswa tak datang dua kali....
Ia pun menganggur, berpangku tangan.
Tatkala sang ayah wafat, ia mengikuti jejak beliau.
Menjadi tukang pipa.
Pekerjaan yang telah ia lakukan selama 10tahun terakhir.
Tersadar akan lamunannya, bapak tukang pipa berkata,
"Makanya, belajarlah dengan rajin, Nak. Jangan sia-sia kan waktumu."
Si anak yang berumur 8 tahun...termangu, lalu berujar,
"Tentu pak! Saya akan belajar dengan sungguh-sungguh!"
Bapak tua itu tersenyum.
Terpaku akan semangat anak kecil itu.
Ah, andai dulu ia seperti itu....
Kembali ia bermain dengan angannya.
Kembali berkonsentrasi pada pipa bocor di depannya, kini.
Comments
Post a Comment