Skip to main content

Kesehatan itu ekslusif, mahal

Pagi tadi bertemu teman-teman skolioser. Ada seseorang yang berceletuk, "Eh, tahu spinecor, nggak?"
"Tahulaaaah, soft brace, kan?"
"Iya. Ada tuh di Bandung dengan harga 2,5 jutaan."
"Hah, masa? Setahuku hanya dijual di Jakarta. Harganya pun 30 jutaan. Kok bisa ini cuma segitu?"
"Nggak tahu juga, sih, barangkali karena buatan Indonesia? Bahannya juga mungkin berbeda. Nah, tetapi mereka tetap mengukur lengkung kemiringan kita, kok."

Brace? Kamu mau pakai, Nad?

Sebenarnya, aku mulai was-was dengan jadwal operasi. Tahu-tahu ingin lekas bertemu dr. Luthfi Gatam, memastikan soal pemasangan brace, rontgen ulang--karena yang kemarin salah (bayangkan, satu juta dan salah!)--konsultasi, dan segera mendaftar operasi di Fatmawati atau RSCM. Yang kudengar saat kopdar tadi, untuk bertemu dr. Luthfi saja bisa sampai menunggu tiga bulan. Ngantri operasi bisa sampai setahun kalau BPJS. Like...oh, okay. Jika memang harus menunggu setahun, akan kutangguhkan itu semua dan fokus S-2 saja. I won't wait that long. No. Skoliosis tidak boleh mengacaukan target waktuku.


Sembari menunggu, aku mau sekali pakai soft brace. Soalnya, brace itu fleksibel, mau kubawa ke luar negeri juga pasti bisa. Sayangnya, yang bikin aku meleleh, ya harganya. Tiga puluh juta. Bahkan jauh lebih mahal daripada harga ngontrak rumah setahun! Terang saja aku nggak enak mintanya.

Di pertemuan tadi, aku juga kenalan sama skolioser yang sudah operasi. Dia operasi di RSPI. Dia cerita biayanya sekitar seratusan juta, ya pasti, itu kan rumah sakit swasta. Terus, ada juga satu skolioser yang cerita dia gonta-ganti dokter, udah ke dr. Luthfi juga. Omaigat, berapa banyak biaya habis untuk konsultasi? Dia pun bercerita bahwa ia bertemu seorang bapak yang menemani anaknya konsul. Kata bapak itu, "Perkiraan biaya operasi anak saya sekitar seratus tujuh puluh juta."
"Hah, kok mahal sekali, Pak?"
"Iya, soalnya pen yang saya pilih bikinan negara X. Karena pen itu akan dipasang di tubuh anak saya seumur hidup, saya menginginkan yang terbaik."
Kemudian, skolioser lain tiba-tiba berceletuk, "Kalau BPJS nggak bisa milih pen kan, ya? Bisa jadi nggak, sih, pen yang nggak gitu bagus yang dipilihkan untuk pasien?" Buru-buru kutengahi, "Kurang tahu soal pen ya, Bu, tetapi setahu saya dokter yang mengoperasi, khususnya di RSCM, tetap bersikap profesional. Sama saja dengan tanpa BPJS."

Daaaaaaaan, di sinilah aku tertegun sendiri. Tahu-tahu sebal sama uang. Tahu-tahu kesal dengan kalimat, "Kesehatan itu ekslusif. Mahal." Soalnya, aku memang baru menyadari kalimat ini benar adanya. Coba nggak perlu BPJS, pasti bisa segera daftar operasi. Coba uang dapat dipetik di mana saja, pastilah bisa konsultasi berulang kali jika mau. Coba uang berguguran dari pohon, pasti bisa ikut semua treatment tanpa ragu. Kalau sudah berpikir seperti ini, ujung-ujungnya cuma bisa nangis.

Sko, kenapa perawatanmu semahal membeli mobil baru?

Kak Dida, kalau kakak nanya lagi, "Apa yang membuat kamu terpuruk hingga nyaris menangis sebagai seorang skolioser?" Jawabannya ya ini. Kenyataan pahit, namun harus ditelan, ini.

So sorry for being so sensitive, but yeah...this thing bothers me. I can't even sleep.

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun