sumber gambar |
Semilir angin menyapu pasir-pasir juga helai-helai rambut kita. Aku menutup mata. Meresapi ketenangan, menghirup udara yang dibawa sang angin.
"Ima..."
"Hm?"
"Aku tidak ingin momen ini berakhir."
"Siapa yang akan mengakhirkan? Ini masih ada. Kita masih di sini."
"Hanya khawatir. Musim berikutnya masihkah ada kita?"
Aku lalu menolehkan kepalaku menatapmu. Jelas sekali tergambar segurat kecemasan.
"Mengapa tidak kau kekalkan saja kalau begitu takut? Dengan begitu, kita akan selalu hidup dalam tiap momen." Aduh, apakah aku salah bicara? Kau mengatupkan bibir kini. Mengikatkan diri, memberi label, mengekalkan hubungan, kau sangka semua itu mudah, Ima? Betapa tololnya diriku.
"Iya, Ima. Kau benar. Maaf, ya."
"Maaf karena?"
"Aku tidak memberi kejelasan apa-apa."
"Ya. Sudah biasa."
"Tetapi kau tak perlu menunggu."
Aku tercenung. Maksudmu apa?
"Iya, kau tak perlu menungguku. Aku masih sangat lama. Aku tak tega bila terkesan memberi janji."
Cepat-cepat kutelan ludah yang tertahan di tenggorokan, "Aku tidak pernah merasa kau berutang janji padaku, Dias."
"Baiklah. Senja ini... kita nikmati. Sebentar lagi."
"Iya, sebentar lagi. Lalu pulang."
"Lalu pulang."
"Ke Jakarta."
"Ke Jogjakarta."
Sama-sama karta, tetapi ini dua kota yang terpaut jauhnya yojana. Ada kutipan kalimat yang kutemukan di sebuah buku, "Enjoy the moment, live in the moment." Aku masih gagal memahaminya. Bagaimana bisa aku menikmati apa yang sedang berlangsung sebagai kesatuan yang utuh apabila aku dihantui bayang-bayang buruk masa depan? Bagaimana bisa? Dapatkah kau ajarkan? Aku ingin diberi jaminan berupa berbalasnya perasaan, bukan permintaan untuk merelakan. Bukan.
Comments
Post a Comment