Ia memandang
kotak nasi yang baru saja disorongkan padanya tanpa bernafsu menyentuhkan jemari
pada tutupnya. Ia merasa kenyang. Maka kembalilah ia ke kamar tidur dan menarik
satu buku dari dalam lemari. Buku yang berwarna biru dengan garis-garis merah
itu berisi lembaran-lembaran kosong, sebuah buku tulis. Pena bergerak-gerak
sebentar, berhenti, lalu bergerak lagi. Memberikan waktu bagi sang penulis
untuk mengolah apa yang berkacau dalam pikiran. Decit-decitan ban mobil yang
bergesekan dengan aspal menjadi teman menulisnya malam itu.
Semenjak
berjumpa kembali dalam pertemuan yang tidak disengaja, malam-malam ia habiskan
dengan duduk di pojokan kamar dan menatap, entah menatap apa. Pandangannya
tertuju ke dinding, tetapi pikirannya jauh pergi meninggalkan tubuhnya. Dalam
kekosongan itu, ia mengerjap-ngerjapkan mata, memijat leher dan bahunya, seolah
ingin melepaskan beban yang bertengger di sana. Lalu merembeslah air dari dua
bola matanya yang kuyu. Telah empat malam berlalu ia membiarkan sesenggukan
mengantarnya ke alam mimpi. Tentunya ia kelelahan. Menangis juga membutuhkan
energi, sementara ia begitu malas mengasup lambungnya. Tinggal menunggu waktu
saja hingga ia jatuh sakit. Oh jangan salah duga, aku bukannya mengharapkan hal
itu terjadi, tetapi yang kulihat ia menyiksa dirinya sendiri atas nama lelaki. Apa itu jika bukan perbuatan tolol namanya? Memancing penyakit!
Sehebat apa
rupanya? Bagaimana bisa lelaki itu menghuni pikirannya sejak kemarin, dan
kemarinnya, juga kemarinnya, hingga hari ini?
Meskipun ia tak
mengaku, aku tahu musababnya tak jauh-jauh dari urusan lelaki. Orang-orang seringkali
terpuruk karena masalah hati, mestilah ia juga sama. Sebelum ini, ia pernah
mengeluhkan sesuatu dan aku sudah memberikan masukan yang kurasa masuk akal. Kubilang, terima saja kalau kau dimanfaatkan olehnya untuk membunuh waktu di
malam-malam sepi. Toh, lelaki itu hanya menghubunginya di jam-jam wajar orang
beristirahat. Aku sungguh gagal paham mengapa ia sudi meladeni. Tidakkah ia
sempat menaruh curiga bahwa dirinya bisa saja dijadikan bahan fantasi?
Eh, aku
dimarahinya betul-betul. Katanya aku ini tak mengerti perasaan perempuan,
padahal aku ini perempuan. Huh, nyata-nyata sulit menasihati orang yang dimabuk
cinta. Padahal, aku hanya mencoba mengusir awan merah jambu yang menggantung di
matanya. Merah jambunya itu palsu. Merah jambunya bersalut kelabu. Dan itu
hanya aku yang bisa lihat sebagai orang luar yang tak ikut menjalani kisah
cinta penuh drama. Ia tak mau percaya padaku. Ia memilih jalan yang dipulas
dengan berbagai interpretasi yang tentunya dihubungkan dengan kisah-kisah
romantis dari berbagai buku. Ia mencoba meniadakan kenyataan dengan menarik
kemungkinan-kemungkinan. Ah, kenyataan itu belum menghantamnya saja. Kendati
demikian, ia sudah menghabiskan air matanya dengan alasan rindu. Entah
bagaimana aku harus menghiburnya bila kelak ia meraung kepadaku karena harus
menelan kenyataan yang pernah mentah ditolaknya.
Comments
Post a Comment