sumber gambar |
Koper kugeret sampai ke depan kursi 13C. Sayang sekali bukan kursi berkode D favoritku. Sudah terisi. Seseorang berpipi kemerah-merahan duduk di sana menatap jendela hitam. Baru saja usai menyudahi pembicaraan di telepon. Basa-basi sedang di mana, sampai jumpa lagi, dan ditutup dengan suara berbisik, "Sudah ya, isin aku." Aku mengeluarkan bantalan U yang kubeli sehari sebelumnya. Juga merobek plastik selimut pinjaman yang dibagikan pramugara. Sementara itu, dia duduk tenang-tenang saja tak terusik dengan headset yang terpasang di telinga.
"Cool juga," pikirku.
"Tetapi manis seperti anak mama," tambahku lagi. Aku memperhatikannya sejenak lalu memalingkan muka ke arah ponselku sendiri. Ketika aku mengangkat kepala, kami bersitatap. Ia tersenyum dan aku balas senyum.
"Mau ke arah mana?"
"Aku Yogya, kau?"
"Klaten."
"Oalah, tinggal di sana po?"
"Ini mau ke rumah nenek. Aku kuliah di Solo."
Lalu Jakarta? Ia menangkap raut keherananku dan mengonfrimasi, "Di Jakarta ada mama."
Kubentuk kerucut di bibir, "Oh..."
Dalam perbincangan kami, beberapa kali ia menyebut mama yang tinggal sendirian di Jakarta.
"Kau anak tunggal, ya?"
"Iya. Wah, kau cocok jadi anak psikologi."
"Betulkah? Tak pernah terpikir olehku."
"Temanku pandai sekali menebak jitu tentang kepribadian atau identitas seseorang. Kau juga."
"Cuma mengandalkan kepekaan saja, kok. Dan sedikit penarikan simpulan yang kebetulan tepat sasaran."
"Aku anak hukum omong-omong. Semester akhir."
"Skripsi, dong, ya?"
"Iya. Sebenarnya aku ingin akuntansi dulu. Sekarang, ya, dijalani saja."
"Pepatah bilang witing tresno jalaran soko kulino."
"Betul itu."
Kami berbincang sampai sedikit mengantuk. Aku merapatkan selimut hingga ke daguku. Suasana gerbong sepi, semua lelap. Kuputuskan untuk mengisi senyap dengan kesenyapan pula. Waktu yang tersisa kemudian kami isi dengan canggung. Masing-masing sudah terlalu lelah untuk memulai perbincangan baru. Kutawarkan kue untuk menyibak keheningan, tetapi ia hanya senyum. Entah malu-malu atau malas mengunyah. Yah, pokoknya kue itu kuletakkan di meja. Tujuh jam sampai sudah. Roda-roda kereta memasuki rel Stasiun Tugu. Aku pamit lebih dulu. Hati-hati, sampai jumpa lain kali, batinku. Menggantung di angan, tak sempat terucap.
Comments
Post a Comment