sumber gambar |
Aku berjalan di lorong pesawat, mencari-cari kursi bernomor empat belas
A. Pesawat malam itu cukup lengang penumpang karena rutenya berlawanan
dari arus mudik kepulangan. Komputer jinjing di tangan kuletakkan di
kompartemen, sementara ranselku kubawa serta ke kursi. Masih sepi,
dua kursi sampingku belum ada yang menempati. Keadaan di seberang sama
saja, hanya ada seseorang di kursi terujung. Seorang pria berkulit sawo
matang dan berkacamata. Tingginya entah, aku tak dapat mengira-ngira. Ia
duduk anteng mengamati jendela sembari sesekali menyapukan pandangan ke
lorong. Pramugari yang mondar-mandir tak menghalangi kami untuk bertemu
muka dan bertukar pandang. Pandangan sekilas saja sebagaimana dua
orang asing yang tak pernah berjumpa sebelumnya.
Setengah jam penerbangan, aku mulai bosan mengamati jendela. Yang terhampar di bawah hanyalah perairan, bukan lagi lampu-lampu perumahan. Hm, si Mas berkacamata sedang apa? Sedari lepas landas tadi dia juga mengamati jendela sepertiku dan aku senang karenanya. Ternyata ia bukanlah barisan orang-orang yang bersiap ngorok begitu roda-roda ditarik masuk ke badan pesawat. Kutolehkan kepala ke jejeran kursi empat belas. Empat kursi yang sepi dan satu lorong membatasi kami. Ia terlelap di atas meja lipat. Kacamatanya ia geletakkan di samping kepala. Aih, Mas. Apakah aneh jika aku ingin kau beralih duduk di sampingku dan mengajakku berbasa-basi? Penerbangan satu setengah jam ini rasanya percuma dimanfaatkan dengan tidur. Tidak akan puas. Lebih baik kita saling mengenal, "Kau asli Jogja? Di sana sekolah atau bekerja?" ditambah sedikit basa-basi, "Kemarin habis mudik, ya, di Jakarta?" Untunglah jika kita segelombang dan pembicaraan mengalir deras. Jika ternyata tidak, ya, tak ada ruginya. Aku mengamatinya yang masih menelungkupkan kepala lalu putus harapan dan menelengkan kepala ke kursi. Ikut berlayar ke alam mimpi.
Suara pramugari mengisi pelantang suara. Sesaat lagi pesawat ini tiba di Adisucipto, sahutnya. Aku sudah bangun, dia juga. Sekali lagi kami bersitatap walau tanpa senyum. Aku masih saja penasaran, tetapi tidak memaksa harus berkenalan. Ketika lampu kabin dinyalakan dan koper-koper diturunkan, aku dan dia mengambil jalan yang berseberangan. Aku turun melalui tangga belakang, sementara dia memilih tangga depan. Harapan ditegur di ruang kedatangan juga tidak kesampaian sebab tak kutemukan dirinya di area pengambilan bagasi. Rasa penasaranku malam ini mestilah disudahi. Jogja ini kecil, bisa saja kami jumpa lagi. Mana tahu waktu singkat tadi menyimpan cerita untuk kami di masa depan. Seperti kata Rendra, nasib cinta memang siapa yang tahu...
Setengah jam penerbangan, aku mulai bosan mengamati jendela. Yang terhampar di bawah hanyalah perairan, bukan lagi lampu-lampu perumahan. Hm, si Mas berkacamata sedang apa? Sedari lepas landas tadi dia juga mengamati jendela sepertiku dan aku senang karenanya. Ternyata ia bukanlah barisan orang-orang yang bersiap ngorok begitu roda-roda ditarik masuk ke badan pesawat. Kutolehkan kepala ke jejeran kursi empat belas. Empat kursi yang sepi dan satu lorong membatasi kami. Ia terlelap di atas meja lipat. Kacamatanya ia geletakkan di samping kepala. Aih, Mas. Apakah aneh jika aku ingin kau beralih duduk di sampingku dan mengajakku berbasa-basi? Penerbangan satu setengah jam ini rasanya percuma dimanfaatkan dengan tidur. Tidak akan puas. Lebih baik kita saling mengenal, "Kau asli Jogja? Di sana sekolah atau bekerja?" ditambah sedikit basa-basi, "Kemarin habis mudik, ya, di Jakarta?" Untunglah jika kita segelombang dan pembicaraan mengalir deras. Jika ternyata tidak, ya, tak ada ruginya. Aku mengamatinya yang masih menelungkupkan kepala lalu putus harapan dan menelengkan kepala ke kursi. Ikut berlayar ke alam mimpi.
Suara pramugari mengisi pelantang suara. Sesaat lagi pesawat ini tiba di Adisucipto, sahutnya. Aku sudah bangun, dia juga. Sekali lagi kami bersitatap walau tanpa senyum. Aku masih saja penasaran, tetapi tidak memaksa harus berkenalan. Ketika lampu kabin dinyalakan dan koper-koper diturunkan, aku dan dia mengambil jalan yang berseberangan. Aku turun melalui tangga belakang, sementara dia memilih tangga depan. Harapan ditegur di ruang kedatangan juga tidak kesampaian sebab tak kutemukan dirinya di area pengambilan bagasi. Rasa penasaranku malam ini mestilah disudahi. Jogja ini kecil, bisa saja kami jumpa lagi. Mana tahu waktu singkat tadi menyimpan cerita untuk kami di masa depan. Seperti kata Rendra, nasib cinta memang siapa yang tahu...
Comments
Post a Comment