Skip to main content

Meja Rias

sumber gambar

Ia menekurkan kepala di meja rias. Menatap botol-botol dan tube kecantikan di depan kaca. Terdengar dengkur lemah suaminya, sedang pikirannya tertuju pada percakapan empat hari lalu. Sepupu terkecilnya tiba-tiba bertanya, "Mbak, Mbak kapan punya dedek?"
"Eh, hehe, iya belum, sayang."
"Punya dong, Mbak, biar Gina punya teman main."
Ah, anak kecil. Pertanyaan polosnya tak sengaja menyilet hati rapuhnya.
"Kalian nggak program aja?" timbrung ibunya Gina.
"Nggak, nih, Tante. Hehe. Siklusku juga masih kacau."
"Sudah cek ke dokter kandungan? Tante ada rekomendasi, nih."
"Boleh, Tan. Aku catat, ya."
Jemari lentiknya mencatat nama dokter beserta tempat praktik, meskipun ia tahu informasi tersebut hanya akan teronggok di meja.


Bukan. Bukannya ia tak ada usaha. Diagnosis PCOS yang ia terima beberapa bulan lalu juga telah ia konsultasikan kepada ginekolog dekat rumah agar mendapatkan penanganan. Tetapi mau bagaimana jika suaminya sendiri yang meminta untuk menunda. Mau bagaimana jika tiap pagi ia mesti menenggak morning after pill. Pil yang diam-diam ia harapkan tak menunjukkan kemanjurannya sekali saja.

 
"Kamu nggak pengin punya anak po, Mas?"
"Mas takut, Dek. Mas takut nggak bisa jadi bapak."
"Tetapi nanti kalau kita tua, rumah ini akan sepi sekali."
"Yang penting tetap berdua, toh."
"Terus, kalau Mas mati duluan, aku sama siapa? Atau sebaliknya, aku mati duluan..."
"Ojo ngono toh. Jangan dulu, yo, Dek. Mas masih merasa nggak pantes."
Apakah suaminya mengira ia benar-benar siap menjadi seorang ibu? Tidak, tetapi ia tahu betul ia ingin menjadi ibu. Ia ingin menjadi pergantungan hidup. Ia ingin menggendong makhluk kecil menggemaskan yang ia panggil anak, alih-alih sepupu atau keponakan. Ia ingin mengalami rasa haru menyandang predikat ibu yang diagungkan banyak wanita. Bukan karena lelah dengan bisik-bisik tetangga, melainkan karena naluri keibuannya meluap, tinggal mencari wadah untuk tumpah. Wadah itu yang ia tak punya. Hendak menunggu sampai kapan, Mas? Tahun ini aku tiga puluh enam, desahnya lirih. Kembali menatap kaca yang perlahan mengabur dari pandangan. Terdengar suara tangis yang tersamar oleh dengkur yang kini makin keras.

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun