sumber gambar |
Siang itu di sebuah taman kota. Cuacanya panas, tentu saja. Huh, siapa yang punya ide ke taman kota? Kita yang baru turun dari Kopaja kini menyisir setapak dengan bunga di kanan kiri. Kau bertanya, apakah aku suka bunga, jenisnya apa, dan warnanya apa. Aku menunjuk bunga di kanan sebagai jawaban, barisan kembang sepatu. Aku mendekat ke bebungaan itu kemudian memintamu, boleh fotokan aku di sini? Kau menyambut kamera dari tanganku dengan sumringah kemudian aku berpose dengan sedikit kikuk. Bagaimanapun, ini kau yang memotretku. Setelah mengamati hasil foto itu sejenak, kau menyelipkan pujian, cantik seperti biasa. Hahaha apa sih, tepisku seraya menyembunyikan semburat malu di pipi.
Di tengah-tengah taman, tegak sebuah air mancur kecil dan burung gereja sedang bertengger di pinggirnya. Taman kota saat itu tidak terlalu ramai, selain kami ada sekumpulan remaja yang sedang asyik dengan tongkat selfie. Tak jauh dari air mancur, kursi-kursi kayu panjang tertata apik. Kau memilih duduk di pojokan, menopangkan siku pada bahu kursi, menumpangkan kaki kananmu pada kaki kirimu, dan mengarahkan dirimu padaku. Bersiap mendengarkan. Sesekali alismu bergerak mendekat ketika aku berbicara terlalu lincah, tetapi matamu tak lepas dari wajahku.
"Jangan menatapku seperti itu."
"Eh, maaf. Kenapa?"
"Iya. Rasanya seperti diinterogasi."
"Hahaha begitu? Baiklah."
Lalu kau menampakkan seulas senyuman yang membuatku keki. Duh, senyuman mematikan. Sudut matamu menyipit dan sudut bibirmu tertarik ke samping tanpa memperlihatkan geligi. Lebar bibirmu tampaknya pas dengan bibirku. Eh, mungkin. Aku tak berani mengkhayalkan lebih jauh.
"Tadi bagaimana kelanjutannya?"
"Ha? Oh, ya, ya, ceritanya. Jadi..."
Nah, kan, hilang fokus. Senyummu mengacaukan segalanya. Haha, bagaimana bila kita jadikan itu sebuah judul lagu?
Comments
Post a Comment