Skip to main content

Bahasa: Khazanah Informasi

"Though Tuvan does have a general word for go, it is less often used. Most of the time, Tuvans use, as appropriate, verbs meaning "go upstream" (cokta), "go downstream" (bat), or "go cross-stream" (kes). You'd rarely hear, 'I'm going to Mugur-Aksy' but rather, 'I'm upstreaming (or downstreaming) to Mugur-Aksy'. The Mongushes could not explain to me the invisible orientation framework that was all around them and underfoot. They simply knew all this information without knowing that they did." (Harrison, The Last Speakers)

Tiba-tiba saja aku teringat Anti dan Nia, dua ART (asisten rumah tangga) di Makassar dahulu. Kampung mereka berdua di Jeneponto. Setiap mereka bercerita tentang kerabatnya yang pulang ke Jeneponto, mereka bilang, "Pergimi ke atas," sementara kalau membicarakan kedatangan ke Makassar, mereka bilang "Ke bawah."



"Anti, kenapa kau bilang ke atas?"
"Karena memang Jeneponto itu ada di atas."
"Iyakah? Tunggu sebentar."
Aku lalu meraih atlas dan membuka peta Sulawesi. Jeneponto terletak di bagian selatan Makassar, berarti letaknya lebih di bawah.
"Lah, tetapi ini gambar Jeneponto ada di bawahnya Makassar. Kenapa di atas?"
"Kenapa, ya? Aih, saya juga tidak tahu. Kita memang bilang ke atas kalau mau ke Jeneponto."

Kalau kupikir-pikir lagi sekarang, mungkin Anti dan Nia merujuk pada kondisi geografis Jeneponto sebagai dataran tinggi. Jadi, jalan yang ditempuh dari Makassar menuju Jeneponto itu menanjak. Tercetuslah frasa ke atas dan ke bawah. Oke, contoh ini memang tak sebanding dengan bahasa Tuva yang dijabarkan Pak Harrison tadi. Aku hanya menuliskan kebingungungan masa kecilku di sini.

Membaca bab "Siberia Calling" di buku The Last Speakers ini, aku tersadar ada beberapa hal dari bahasa yang memang berkembang di alam bawah sadar. Kita lontarkan suatu konsep tanpa tahu asal-usul penggunaannya. Memang benar ya, bahasa menyimpan informasi budaya dan geografis. Seru sekali! :')

Ah, jadi kangen Nia, Anti, Tina, dan Dg. Ugi. Kangen sekalika' kodong. Kita' tahu ji menangiska' di kamar karena kangenki' semua? Masih mauka' kita' ajari bahasa Makassar, masih mauka' dengar logatta' bicara. Biarmi itu dulu maceku namarahika' gara-gara bergaulka' sama pembantu. Nabilang, tidak bagus bede' bergaul sama kalian karena nanti jadi kasar bicaraku. Deh, padahal sa suka sekali bicara pakai bahasa daerah. Dari kita' mi semua bisaka' ngomong pakai logat Makassar, tahuka' beberapa kosakata bahasa Makassar. Seperti ada sense of belonging yang selama ini hilang. Bisaka' berbaur sama orang setempat dan bisaka' identifikasi diriku sebagai orang Makassar karena sa tahu sedikit soal bahasanya. Makasih nah, Anti, Nia, Tina, dan Dg. Ugi. Semoga baik-baik jki' selalu. InsyaAllah, kalau ada kesempatan mainka' lagi ke Makassar.

Dariku,
Nadia Almira Sagitta
Gadis berdarah Minang-Jogja, yang sulit merasa jadi bagian dari keduanya.

Catatan:
Betapa pentingnya pengaruh bahasa daerah dalam proses identifikasi diri. Sulit sekali mengaku bagian dari suatu suku apabila bahasa dan budayanya saja tidak kita ketahui. Jangan seperti diriku, gadis blaster Minang-Jogja yang merasa terasing di tanah sendiri karena tak dapat bercakap-cakap dengan bahasa setempat. Sementara itu, di tanah Jakarta, aku sering mengaku orang Makassar, padahal ketika ditanya perihal bahasa dan budaya Makassar lebih jauh, aku terpaku. Tidak tahu.

Keterangan bahasa Makassar:
ka' 'saya'
ki' 'kamu' (sopan)
kita' 'kamu' (sopan)
na 'dia'
sa 'saya'
mi, ji 'kategori fatis bahasa Makassar'
mace 'ibu'

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.