sumber gambar |
Malam itu di nDalem Pugeran Brontokosuman, tepat di belakang Museum Perjuangan, lampu-lampu sorot menyinari langit pertanda ada acara. Aku melangkahkan kaki memasuki gang kecil di samping Museum Perjuangan. Di sana telah berkumpul banyak orang. Tenda didirikan, puluhan kursi disusun, orang-orang berbaju batik duduk di depan sementara lainnya di belakang.
"Ini benar teater?" tanyaku memastikan.
"Ya, kak! Teater Tari Ritus Lampah Lemah. Sebentar lagi."
Aku agak ragu duduk di depan sebab siapa tahu itu barisan khusus pejabat penting. Malu-malu kuhampiri meja registrasi, ternyata pengunjung boleh duduk di mana saja. Setelah mengisi presensi dan mendapatkan brosur pertunjukan serta satu kotak kudapan, aku mendudukkan diri di tengah-tengah. Tidak ada kursi di depanku jadi bisa lebih leluasa menatap panggung. Yeay! Panggungnya berkonsep terbuka dan ada dua undakan. Di undakan pertama, kulihat lapisan besar berwarna cokelat. Sepertinya para penari akan lebih berkonsentrasi di undakan teratas. Kubaca lagi brosur, teater tari itu seperti apa, ya? Apakah teater yang didominasi tarian laiknya drama musikal yang didominasi nyanyian? We'll figure it out.
Ritus Lampah Lemah. Ritus berarti seremonial yang tertata. Lampah adalah langkah dalam bahasa Jawa. Sementara itu, lemah yang juga bahasa Jawa bermakna tanah. Pertunjukan ini menampilkan sosok wanita Desa Kasongan yang terkenal dengan gerabahnya. Bu Setyastuti sang sutradara mencoba menyuguhkan kehidupan wanita-wanita Jawa, utamanya Kasongan, yang tidak hanya berputar di tiga lingkaran: dapur, sumur, kasur. Selain itu, pertunjukan ini ingin merekonstruksi makna kecantikan yang tak lagi seputar keindahan fisik dan usaha-usaha mencapainya, semisal berdandan atau berlomba-lomba melakukan perawatan. Cantiknya perempuan tidak harus gemulai, tidak harus lemah, tidak harus terkait meronanya bibir pipi atau kemilaunya rambut, tetapi cantik adalah kekuatan wanita untuk menghasilkan sesuatu secara produktif.
Difoto oleh IG @anoekoe |
Penampilan dibuka dengan empat wanita berbusana hitam bercorak garis merah. Gerakan mereka lemah gemulai. Empat wanita lain yang berbusana serupa menyusul ke panggung dan delapan orang ini menari secara berpasangan. Tiba-tiba, datanglah sekumpulan lelaki bertelanjang dada menjunjung semacam panggung mini. Wanita-wanita tadi menanggalkan gaunnya dan menyisakan sebuah atasan tanpa lengan dan kerah serta celana merah. Tarian para perempuan kini menjadi lebih rancak bersama para lelaki (catatan: perempuan tidak selamanya harus lemah gemulai, ia bebas mengekspresikan diri dan menonjolkan kekuatan yang dimiliki). Panggung mini yang tadi dibawa digunakan empat wanita gemuk berbusana biru-hijau. Gerakan mereka geal-geol lucu. Lelaki yang tadinya diam saja kini menggenggam tanah liat pada kedua tangannya dan bergerak melumuri kaki, lengan, serta wajah para wanita. Menurutku, ini adalah representasi dari wanita Kasongan yang sehari-harinya lekat dengan tanah liat. Makna cantik yang semula harus putih bersih kini diluluhkan dengan adanya tanah liat yang menempel pada kulit.
Para penari menuruni undakan dan berjalan pelan di atas lapisan cokelat yang kusebut tadi. Ternyata, lapisan itu adalah tanah liat basah. Mula-mula lelaki yang menari kemudian diikuti perempuan. Kau bisa bayangkan tubuh kekar lelaki yang berpeluh bermandikan cahaya lampu. Bersinar-sinar memikat. We talked about male dancer here, obviously their bod are so...fit. Gosh, I'm blushed only reminiscing the moment! Mereka berdiri membentuk barisan yang panjang dan berjalan perlahan-lahan. Kurasa inilah bagian dari lampah. Di sisi kiri panggung, tiga wanita Kasongan telah selesai memutar meja gerabah. Sejak dimulainya pertunjukan, mereka memang ditempatkan di situ. Kehadiran mereka dimaksudkan untuk menunjukkan pada penonton cara membentuk gerabah dari nol. Sementara itu, sepanjang pertunjukan, dua lelaki menjinjing ember bolak-balik mengisi tiga guci gerabah yang terletak di sisi kanan panggung. Cukup mengganggu, tetapi itu bagian dari pertunjukan. Setelah guci penuh terisi, kedua lelaki itu tak lantas berhenti. Air yang mereka bawa disiramkan pada para penari juga lapisan tanah liat sehingga membuat tanah makin becek dan tubuh penari makin basah.
Para penari menuruni undakan dan berjalan pelan di atas lapisan cokelat yang kusebut tadi. Ternyata, lapisan itu adalah tanah liat basah. Mula-mula lelaki yang menari kemudian diikuti perempuan. Kau bisa bayangkan tubuh kekar lelaki yang berpeluh bermandikan cahaya lampu. Bersinar-sinar memikat. We talked about male dancer here, obviously their bod are so...fit. Gosh, I'm blushed only reminiscing the moment! Mereka berdiri membentuk barisan yang panjang dan berjalan perlahan-lahan. Kurasa inilah bagian dari lampah. Di sisi kiri panggung, tiga wanita Kasongan telah selesai memutar meja gerabah. Sejak dimulainya pertunjukan, mereka memang ditempatkan di situ. Kehadiran mereka dimaksudkan untuk menunjukkan pada penonton cara membentuk gerabah dari nol. Sementara itu, sepanjang pertunjukan, dua lelaki menjinjing ember bolak-balik mengisi tiga guci gerabah yang terletak di sisi kanan panggung. Cukup mengganggu, tetapi itu bagian dari pertunjukan. Setelah guci penuh terisi, kedua lelaki itu tak lantas berhenti. Air yang mereka bawa disiramkan pada para penari juga lapisan tanah liat sehingga membuat tanah makin becek dan tubuh penari makin basah.
Dari sisi kiri panggung, masuklah sekumpulan peniup terompet berbaju kuning dipimpin oleh seseorang yang berpakaian Jawa. Aku suka tiupan terompet mereka sebab suasana Jazz sangat terasa. Kalau sudah begini, aku teringat ayah yang merupakan penggemar musik Jazz. Di sela-sela penampilan pemusik terompet, para penari membasuh diri mereka di pancuran. Kemudian, adegan berganti. Kini, tata pencahayaan yang gelap beralih warna-warni seperti disko. Alunan gamelan bertempo cepat dimainkan. Di sisi kanan panggung atas, berdirilah seorang DJ perempuan yang asyik memutar piringan hitam. Wah, perpaduan antara musik tradisional dan musik modern. Gamelan kontemporer! Komposisi ini baru pertama kali aku temukan. Seru sekali!
Perempuan-perempuan yang telah selesai membasuh diri kini berkumpul di sisi kanan panggung dan mencipta suasana seakan-akan sedang bertransaksi di pasar. Ini adalah perlambang wanita yang menguasai pasar. Wanita ikut menggerakkan roda perekonomian masyarakat dengan gerabah bikinannya. Sementara itu, empat wanita gemuk tadi duduk di hadapan meja putar dan menggerakkan tangannya, berpantomim membentuk gerabah. Di selang pekerjaan, mereka dihampiri suami masing-masing. Lalu, keempat pasangan bergerak menjauhi meja seraya membawa payung biru menuju rumah. Sang wanita meletakkan payung di samping suami yang kini berbaring. Minta dipijat, rupanya. Para istri pun dengan sigap memijati kaki dan punggung suami mereka. Kurasa, penggunaan payung di sini memberikan simbol keteduhan apalagi warna payung yang dipilih adalah biru sebagai simbol ketenangan. Betapa pun para wanita sibuk bekerja, ia tetaplah peneduh hati suaminya. Meskipun sibuk berkontribusi di masyarakat, ia akan segera datang ketika sang suami membutuhkan. Dapat disimpulkan bahwa wanita-wanita Kasongan ini tidaklah lantas melupakan tugas utamanya sebagai seorang istri yang wajib melayani keluarga. Great!
Penampilan Ritus Lampah Lemah diakhiri dengan adegan seorang wanita yang tegak di atas meja tatkala para lelaki sedang asyik bercengkrama dan tertawa. Gerakan mendadak terhenti ketika wanita itu menjatuhkan gaunnya menutupi kepala seorang laki-laki. Bila diperhatikan, sang sutradara tampaknya ingin menegaskan bahwa di sini, Kasongan, yang bertindak sebagai pemimpin adalah perempuan. Aku tidak menemukan satupun gerakan tarian yang menunjukkan aktivitas pekerjaan yang dilakukan lelaki. Mereka hanya meminta dilayani dan nongkrong tanpa kejelasan, sementara yang berusaha keras adalah para perempuan. Tentu ini hanya satu sisi yang diangkat, tidak berarti semua lelaki Kasongan itu pemalas. Jangan salah paham, ya.
Lampu dipadamkan, tepuk tangan membahana meskipun malu-malu, dan aku masih duduk diam terkesima. Oh, rupanya ini yang disebut teater tari. Meskipun tanpa dialog, pesan tetap dapat tersampaikan. Sungguh bukan kerja mudah menyutradarai pertunjukan semacam ini. Tentu gerakan-gerakan tarian melalui proses koreografi yang tidak sebentar agar dapat menjadi jembatan untuk menyuguhkan cerita. Salut untuk Bu Setyastuti! Pertunjukan yang menggabungkan unsur tari, musik, teater, dan video mapping ini berhasil disajikan dengan sangat baik! :D
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Perempuan-perempuan yang telah selesai membasuh diri kini berkumpul di sisi kanan panggung dan mencipta suasana seakan-akan sedang bertransaksi di pasar. Ini adalah perlambang wanita yang menguasai pasar. Wanita ikut menggerakkan roda perekonomian masyarakat dengan gerabah bikinannya. Sementara itu, empat wanita gemuk tadi duduk di hadapan meja putar dan menggerakkan tangannya, berpantomim membentuk gerabah. Di selang pekerjaan, mereka dihampiri suami masing-masing. Lalu, keempat pasangan bergerak menjauhi meja seraya membawa payung biru menuju rumah. Sang wanita meletakkan payung di samping suami yang kini berbaring. Minta dipijat, rupanya. Para istri pun dengan sigap memijati kaki dan punggung suami mereka. Kurasa, penggunaan payung di sini memberikan simbol keteduhan apalagi warna payung yang dipilih adalah biru sebagai simbol ketenangan. Betapa pun para wanita sibuk bekerja, ia tetaplah peneduh hati suaminya. Meskipun sibuk berkontribusi di masyarakat, ia akan segera datang ketika sang suami membutuhkan. Dapat disimpulkan bahwa wanita-wanita Kasongan ini tidaklah lantas melupakan tugas utamanya sebagai seorang istri yang wajib melayani keluarga. Great!
Penampilan Ritus Lampah Lemah diakhiri dengan adegan seorang wanita yang tegak di atas meja tatkala para lelaki sedang asyik bercengkrama dan tertawa. Gerakan mendadak terhenti ketika wanita itu menjatuhkan gaunnya menutupi kepala seorang laki-laki. Bila diperhatikan, sang sutradara tampaknya ingin menegaskan bahwa di sini, Kasongan, yang bertindak sebagai pemimpin adalah perempuan. Aku tidak menemukan satupun gerakan tarian yang menunjukkan aktivitas pekerjaan yang dilakukan lelaki. Mereka hanya meminta dilayani dan nongkrong tanpa kejelasan, sementara yang berusaha keras adalah para perempuan. Tentu ini hanya satu sisi yang diangkat, tidak berarti semua lelaki Kasongan itu pemalas. Jangan salah paham, ya.
Lampu dipadamkan, tepuk tangan membahana meskipun malu-malu, dan aku masih duduk diam terkesima. Oh, rupanya ini yang disebut teater tari. Meskipun tanpa dialog, pesan tetap dapat tersampaikan. Sungguh bukan kerja mudah menyutradarai pertunjukan semacam ini. Tentu gerakan-gerakan tarian melalui proses koreografi yang tidak sebentar agar dapat menjadi jembatan untuk menyuguhkan cerita. Salut untuk Bu Setyastuti! Pertunjukan yang menggabungkan unsur tari, musik, teater, dan video mapping ini berhasil disajikan dengan sangat baik! :D
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Wah bagus penulisannya jadi kangen panggung lagi..
ReplyDeleteHalo, Mbak Mira! Terima kasih, ya. Hehehe, dulu penari juga, toh? :)
Delete