Skip to main content

Ulasan Showcase Pasadatari #1

sumber gambar

Pada tanggal 11 Mei 2017, Pendhapa Art Space menggelar showcase yang bertajuk "Bicara Tubuh, Tubuh Yang Berbicara" dari Pasadatari. Pasadatari adalah sebuah wadah bagi para calon koreografer muda untuk menggali dan mematangkan gagasan yang akan disampaikan. Di Pasadatari, peserta diminta untuk mengenali tubuhnya dan pembimbing akan memberikan wacana, pengalaman tubuh, hingga sudut pandang yang beragam terhadap sebuah objek selama 24 kali pertemuan dalam tiga bulan. Pembimbing tari membantu meruncingkan gagasan dari para peserta.

Showcase ini menampilkan tiga koreografer, yaitu Yurika Meilani, Aprilia Sripanglaras, dan Irwanda Putra. Yurika menampilkan Rambu Rambut, Lia menampilkan Kirig, dan Putra menampilkan Sungkur, Sangkar, Singkir.

Rambu Rambut oleh Yurika Meilani
Difoto oleh IG @pipoarokhmanuri


Penampilan pertama adalah Rambu Rambut oleh Yurika. Menurut penuturan Yurika, tarian ini bercerita mengenai kebebasan dan kegelisahan yang ia alami melalui medium rambut. Aku tidak menangkap pesannya karena datang terlambat. Aku hanya melihat Yurika menggenggam rambut dan mengarahkan gunting untuk memotong rambutnya. Aku sempat deg-degan, "Apakah ia betul-betul akan memotong rambutnya? Oh Tuhan, rambut dalam genggamannya banyak sekali! Apakah ia akan setotalitas itu demi sebuah pertunjukan?" Ternyata, ia menggerakkan gunting perlahan--sempat tersendat kalau boleh kubilang--lalu mengacungkan segenggam kecil rambutnya. Hanya sedikit yang terpotong, baguslah hanya sedikit karena rambut dia bagus. Yurika lalu meniup rambut dalam telapaknya sebagai penutup gerakan. 


Kirig oleh Aprilia Sripanglaras
Difoto oleh IG @dharmaku

Penampilan kedua adalah tari Kirig oleh Aprilia Sripanglaras. Lia membelakangi penonton dan melenggak-lenggokan pinggul. Gerakan khas dalam tarian ini adalah getar-getar cepat yang ditimbulkan oleh gerakan kaki penari. Selama menari, Lia mengulang-ulang lirik ndolalak Purworejo. Dolalak adalah salah satu tari tradisional Purworejo yang serupa dengan Tari Angguk Yogyakarta.
 
Ikan cucut mandi di laut
Kena ombak bergoyang buntut 

Berdasarkan penuturan Lia, ia memang memodifikasi Tari Angguk dalam karyanya kali ini. Hal yang ingin ia tampakkan adalah kesensualan dirinya melalui medium Tari Angguk yang memiliki motif gerak kirig dan mekol.  Kirig adalah gerakan bahu yang cepat pada saat-saat tertentu. Maka dari itu, gerakan Lia tampak kemayu karena berdasar dari dua motif gerak itu. Pemilihan busana Lia yang pendek dan berwarna merah tentu bukan tanpa alasan. Busana penari Angguk pun seperti itu, yakni didominasi warna merah dan hitam dipadu dengan celana pendek. Mari kita lihat gambar penari Angguk di bawah ini.


Tari Angguk
sumber gambar

Penampilan terakhir oleh Putra dibuka dengan telentangnya ia di lantai dan berusaha untuk bangkit. Beberapa kali Putra melontarkan dirinya ke sisi panggung dan kepalanya ditolehkan ke kiri kanan dengan tatapan mata yang awas. Cara Putra berjalan dan melompat dengan penuh kewaspadaan mengingatkanku pada Tarzan. Lihatlah foto di bawah ini. Ya, aku mengira tarian ini menggambarkan Tarzan atau setidaknya hewan yang mencari mangsa.
 
Sungkur, Sangkar, Singkir oleh Irwanda Putra
Difoto oleh IG @cultivootee

Sungkur, Sangkar, Singkir oleh Irwanda Putra
Difoto oleh IG @pipoarokhmanuri

Namun menurut Putra, tariannya kali ini merepresentasikan ayam. Sedari kecil, ia akrab dengan ayam dan sering menonton pertunjukan sabung ayam. Tarian ini dibawakannya sebagai wujud rindu pada ayam dan masa kecilnya. Putra mengeksplorasi gestur ayam saat berlaga dalam sabung ayam. Maka dari itu, ia tidak mengenakan baju dan memilih celana pendek berwarna kulit sebagai representasi ayam yang telanjang. Namun, hal ini justru disayangkan oleh salah seorang komentator yang ternyata menginginkan Putra tampil tanpa busana. Aku yang mendengarnya langsung syok, hahaha demi apa tanpa busana?

Sungkur menandakan ayam yang terkena pukulan. Gerakan ini tampaknya digambarkan Putra dengan melontarkan diri ke sana kemari. Sangkar menandakan ayam yang melindungi dirinya dari pukulan. Ini dia gerakan yang kukira mencari mangsa tadi. Mata yang awas juga kaki yang siaga mengambil ancang-ancang adalah pertahanan diri sang ayam agar tidak terkena serangan dari lawan. Sementara itu, singkir menandakan kebangkitan ayam yang ingin menyerang lagi. Gerakan singkir ditemukan di akhir ketika sang ayam terlepa, tetapi masih ingin bangkit dengan sisa-sisa kekuatan yang ada.

Ketiga tarian yang dipersembahkan tidaklah diiringi musik. Situasi ruangan sungguh hening, terdengar sayup gesekan kaki penari dengan lantai, getar-getar tubuh, dan potret kamera. Itu saja. Ini adalah kali kedua aku menonton pertunjukan tari tanpa musik. Rasanya seperti kurang lengkap memang, tetapi justru lebih sulit. Penari hanya memiliki lengan, kaki, kepala, dan pinggul untuk membangun suasana. Tarian seperti ini menekankan aspek ketubuhan. Tantangan yang dihadapi sang penari adalah bagaimana ia dapat menyampaikan gagasan dan memikat penontonnya melalui olah tubuh semata.

Overall, I like it or I'm trying to like it.
Aku masih percaya bahwa kebingungan yang timbul tatkala menonton dipengaruhi oleh belum terbiasanya aku. Nanti aku coba menghadiri beberapa pertunjukan lagi dan kita lihat apakah ada perkembangan pemahaman dari diriku sendiri.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun