Generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1980--awal 2000. Itu berarti anak-anak 90-an seperti aku dan kamu merupakan bagian dari generasi milenial. Kita yang sedari lahir dan bertumbuh telah terpapar teknologi, mulai dari radio, televisi, komputer, hingga merambah era ponsel pintar. Internet telah menjadi keseharian dan juga kebutuhan bagi anak-anak muda masa kini. Rasanya belum klop apabila tidak mengabadikan momen di Instagram, belum lengkap apabila tidak update ina-inu di Snapchat, belum gaul apabila tidak curhat, mengeluh, bahkan berdoa di Facebook, belum keren kalau tidak duet dengan para penyanyi di Smule. Tidak punya semua media sosial itu? Itu tandanya kamu kurang eksis. Dengan tingginya kebutuhan untuk meng-update sesuatu di dunia maya, tidak jarang kebahagiaan kita diukur dari penuhnya daya baterai ponsel, kencangnya koneksi internet, dan tanda likes.
Tempa, sebuah graphic art studio, mencoba menyuguhkan fenomena menarik ini dalam karya-karya mereka yang dipamerkan di Kedai Kebun Forum dengan tajuk Millennial Dopamine. Karya mereka tidak hanya menggunakan kanvas sebagai media, tetapi juga kain berbahan karpet, kain sutra, kertas, dan tanah liat. Kreatif!
Jars Full of Desires, Fabric |
Karya yang ini cukup menggambarkan dopamin yang diminati generasi masa kini. Sebelum melangkah lebih lanjut, dopamin adalah suatu senyawa yang berkaitan dengan rasa bahagia dan pembangkit mood seseorang. Nah, sekarang coba perhatikan kedua botol penuh isi ini. Lihatlah botol bertutup merah jambu. Di situ, kita temukan kabel pengisi daya (charger) dan tanda like. Bukankah kita mendadak belajar fotografi agar hasil jepretan kita tampak estetis dan mendapatkan ratusan likes? Bukankah kita tak pernah melupakan kabel charger ke mana pun kita pergi? Bukankah restoran yang menyediakan banyak colokan (ditambah wi-fi) terdengar lebih menggoda? Gawai yang kehabisan daya menjadi mimpi buruk anak muda. Men, terus gue mesti ngapain kalau ponsel mati? Sementara itu, kebahagiaan di botol bertutup biru adalah perhiasan yang melambangkan kekayaan. Dapat kita lihat tersematnya cincin di jari kelingking dan gelang-gelang di lengan.
Rambu Senandika, Print on paper |
Senandika, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di
dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik
batin yang paling dalam dari tokoh tersebut. Barangkali, yang ingin diungkapkan Tempa adalah pembicaraan dengan diri sendiri. Hal ini tergambar pada lukisan perempuan yang seorang diri dalam guci seakan-akan terkungkung dengan dunianya. Kita yang gandrung dengan media sosial tanpa sadar menjadi makhluk antisosial dan asyik sendiri dengan gawai yang dimiliki. Simbol gawai itu aku lihat pada lukisan pertama, di sana ada gurat tiga manusia yang tercolok dengan kabel USB.
Entah karya yang satu ini dicetak pada media apa, tetapi menurutku instalasinya keren. Oh ya, tokoh perempuannya masih tetap sama dengan Rambu Senandika, yakni berkulit merah jambu, mengenakan perhiasan, dan tidak berwajah.
Tampak depan Kedai Kebun Forum |
Pulang dari pameran ini, aku jadi berpikir. Media sosial itu bagai koin, sisi baik buruknya berdampingan erat sekali. Kitalah sebagai pengguna harus pintar-pintar memanfaatkan teknologi. Jangan sampai kita biarkan diri terjajah dengan kemajuan teknologi masa kini. So, heads up, everyone! Sapa orang di samping kiri-kananmu dan palingkanlah kepalamu sejenak dari gawai di genggaman.
Pameran masih berlangsung hingga 26 Mei 2017 di Kedai Kebun Forum.
Kedai Kebun Restaurant yang terletak di Jln. Tirtodipuran No. 3 Yogyakarta buka setiap hari kecuali Selasa mulai pukul 11.00--21.00.
Selamat berkontemplasi, wahai generasi masa kini!
Salam,
Nadia Almira Sagitta
TFS ya mba, Jadi tahu kehidupan anak2 millennial. Suka sama quotenya, jangan sampai kita biarkan diri terjajah dengan kemajuan teknologi masa kini.
ReplyDeleteSama-sama, Mbak Nur. Hehehe iyaaa betul. Kalau Mbak punya anak, silakan awasi penggunaan teknologinya. :)
DeleteAku sendiri termasuk orang yang sangat kecanduan ponsel dan media sosial, huhu. Sayang sekali kalau anak-anak kecil juga sudah mengalami hal itu.