Skip to main content

Air mata

Aku bukanlah gadis remaja yang mudah menangis. Dulu, aku mengubah semua kesedihan hati menjadi kekesalan. Uring-uringan. Enggan sekali menitikkan air mata. Bagiku, air mata hanya diperuntukkan bagi orang-orang cengeng sementara aku tidaklah cengeng. Begitulah pikirku dahulu. Oh ya, air mata juga hanya dikeluarkan ketika ada yang meninggal, itu saja. Tatkala aku melihat orang-orang menangis karena cinta, aku cuma bisa tertawa dalam hati. Mengapa berlebihan sekali? Ketika aku patah hati saat SMP, aku hanya linglung beberapa waktu dan bertransformasi menjadi perempuan yang lebih kuat. Benar, kan, aku tidak cengeng?

Selang beberapa waktu berlalu, pradugaku ternyata salah tentang kecengengan diri. Dulu mudah saja berkata seperti itu ketika belum jatuh cinta benar-benar. Dulu masih cinta iseng ala-ala remaja tanggung. Memasuki dunia SMA, memasuki dunia baru penuh cinta yang mekar. Aku jatuh cinta tiga kali. Aku menangis empat kali. Bahkan, cinta terakhir kala SMA masih menyisakan derita hingga hari ini. Air mataku berebutan mengaliri pipi seperti tsunami. Tidak berhenti-berhenti. Ditinggal dan meninggalkan ternyata rasanya sakit sekali. Ditinggal dan meninggalkan ternyata membuat hari dan hatimu kopong. Bagaikan mayat hidup aku menjalani hari-hari, sampai-sampai kawanku bertanya apa yang terjadi. Akulah raga yang baru saja kehilangan jiwa dan hati, kataku. Ah, aku baru menyadari aku cengeng. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan diriku yang dahulu. Sebabnya cinta, itulah dia.

Kala memasuki usia dewasa muda di akhir perkuliahan ini, aku tak pernah berharap akan merasakan sakit hati yang serupa lagi. Namun, takdir hidup tetap berjalan sesuai kehendaknya. Jikalau memang harus patah, pastilah patah. Maka aku tergugu lagi, sulit bicara. Aku duduk terpaku lagi, sulit mencerna kata-kata. Bukan sekali dua kali aku menangis. Banyak sekali, jauh lebih banyak daripada kala SMA dahulu padahal subjeknya kini hanya satu. Oh, tak aku lupa, yang dulu-dulu juga ikut menyumbangkan kegetiran hati. Aku terus menangis sampai stok air mataku habis. Pernahkah engkau mengalami kesedihan luar biasa sampai-sampai tak sanggup untuk menggerakkan kelenjar lakrimal yang bertanggung jawab atas air mata? Inilah aku, pagi ini. Pada puncak kesedihan, aku hanya bisa tersenyum getir karena sudah terlalu payah untuk menitikkan air mata. Barangkali diri ini sudah kebal merasakan sakit sehingga air mata tak lagi mendesak keluar.

Aku lelah, Ya Rabb.
Aku tak ingin menangis lagi.
Aku memohon pada-Mu, berilah aku ketegaran seperti masa remaja mudaku dahulu.

Salam,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun