Emosi sedang terguncang. Sedikit-sedikit mau nangis. Gegara skripsi.
Kena migraine, nangis
Padahal kena migraine gegara nangis juga
Kena mag juga mau nangis
Apalagi ditambah kehujanan di tengah jalan
Rasanya, tuh, mau bersimpuh dibasahi air hujan dan teriak,
"Kenapa, ya Allah?" (oke dramatis, abaikan)
Padahal kena migraine gegara nangis juga
Kena mag juga mau nangis
Apalagi ditambah kehujanan di tengah jalan
Rasanya, tuh, mau bersimpuh dibasahi air hujan dan teriak,
"Kenapa, ya Allah?" (oke dramatis, abaikan)
Entahlah. Pulang-pulang dari kampus bukannya mendapat pencerahan, malah bertambah pusing. Semangat dari teman-teman dan dosen malah membuat migraineku menjadi-jadi.
Ini hanya masalah tiga setengah atau empat tahun.
"Bagaimana skripsimu?"
"Entahlah, aku berpikir untuk empat tahun."
"Loh, kenapa? Yah, Nadia aja mundur...gimana aku. Jadi takut."
"Jangan. Topik kamu sudah tetap, kan? Aku yang belum."
Ini hanya masalah tiga setengah atau empat tahun.
"Bagaimana skripsimu?"
"Entahlah, aku berpikir untuk empat tahun."
"Loh, kenapa? Yah, Nadia aja mundur...gimana aku. Jadi takut."
"Jangan. Topik kamu sudah tetap, kan? Aku yang belum."
Ah, tidak bisakah kalimat "Nad saja begini..." itu ditanggalkan? Itu malah membuat aku makin berat. Apabila kau dianggap jago oleh kawan-kawanmu, kau tentu tahu bebannya seperti apa. Masa, sih, seorang dia tidak bisa tiga setengah tahun? Oh, sungguh gengsi sekali.
Tadi aku bersama empat kawanku berkonsultasi dengan dosen. Di antara mereka, rasanya hanya aku yang curhat. Pemaparan ideku singkat saja dan lebih didominasi, "Bu, apakah ide ini tidak terlalu mudah? Apa layak jadi skripsi? Malah sebenarnya sudah ada yang meneliti hal ini, kami hanya berbeda objek saja.", "Bu, bagaimana kalau misalnya saya ambil skripsi semester ini, tetapi di tengah-tengah saya mengganti topik dan melanjutkannya ke tahun keempat?", dan "Bu, andaikata saya memilih skripsi pada semester delapan, apakah saya bisa mencicil bimbingan dengan dosen pilihan saya sejak semester ini?"
Komentar dosenku, "Kamu ini kebanyakan galau. Topik kamu bisa dilanjutkan, kok. Ini malah sudah bisa diselesaikan. Perihal topik yang mirip itu tidak apa-apa. Pasti ada perspektif baru dari tiap penelitian. Jangan repot mencari topik yang wah jika pembahasannya tidak dalam. Itu bisa membuat nilai kamu kurang. Dosen senang hati, kok, membimbing mahasiswa walaupun si mahasiswa belum memutuskan skripsi. Jangan takut."
Iya, Bu. Terima kasih atas saran-sarannya. Sebenarnya, aku mau penelitian lapangan seperti senior-senior terdahulu. Coba perhatikan skripsi tahun 2000-an ke bawah. Luar biasa. Aku sampai heran dari mana mereka sok ngide topik yang menarik itu, padahal teorinya tidak diajarkan di perkuliahan. Aku mau punya topik yang wah juga. Aku tahu aku bisa mengerjakannya, aku hanya belum menemukan topiknya saja. Oh, sungguh, memikirkannya saja sudah membuatku pusing. Terhimpit antara idealisme, waktu, dan mimpi-mimpi selanjutnya. Aku hanya menginginkan karya tulis pertamaku bermanfaat untuk ilmu pengetahuan. Aku tidak mau asal tulis tanpa tahu landasan pemilihan topik tersebut. Apa semata berkejaran dengan waktu saja? Kan mau jadi peneroka bahasa, apa iya bisa kuwujudkan bila skripsiku biasa saja? Galau nian. Aku butuh istikharah!
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment