Skip to main content

Cinta vs Mimpi

Tulisan ini mengingatkanku akan sesuatu.
Jika cinta itu pengorbanan, apa lantas aku harus mengorbankan mimpi-mimpiku demi membersamaimu? Ini pertanyaan sulit yang hingga kini belum kutemui jawabannya. Ini pertanyaan yang kerap kugaungkan dalam benak andaikata kau memilihku untuk menjadi pendampingmu. Perlu kau tahu bahwa aku terbiasa mengorbankan sesuatu demi mengejar mimpiku. Kukorbankan kebersamaan dengan keluarga di Amerika dan memilih tinggal di Indonesia demi mengejar mimpiku. Kukorbankan waktu-waktu santaiku demi mengejar mimpiku. Aku takut, ketika hambatan itu datang di saat sedikit lagi jarak antara aku dan mimpiku, aku juga akan mengorbankan perasaanku; kamu.

Aku tidak ingin mengorbankan dirimu sedemikian jauh, tetapi aku juga tidak ingin mengorbankan mimpi yang telah kucita-citakan dengan matang. Aku tak lepas berdoa pada Allah agar diberi kemudahan dalam mencari pasangan hidup kelak. Entah dengan pemuda yang satu pemikiran denganku atau dengan pemuda yang bersedia mendukung mimpi-mimpiku. Untuk jawabannya, aku belum tahu. Toh, aku belum menikah. Akan tetapi, aku bisa merasakan perbedaan yang sekiranya akan aku dan kamu alami saat menikah nanti.

Barangkali menikah denganku bukanlah keputusan yang tepat bagi orang-orang yang mendewakan kedekatan jarak. Bisa saja aku melakukan perjalanan ke suatu daerah, memetakan bahasa di tempat itu, lalu pulang menyambutmu berminggu-minggu kemudian. Bisa saja aku meneruskan pendidikan ke jenjang doktor di sebuah universitas terkemuka di Inggris. Kau boleh ikut, boleh juga tidak. Bisa saja aku diutus kampus untuk mengajarkan bahasa Indonesia di suatu negara selama dua tahun lamanya. Kau boleh ikut, boleh juga tidak. Kalau boleh memilih, aku tentu berharap kau ikut denganku. Akan tetapi, adakah lelaki yang seperti itu? Dia yang bersedia mengikuti istrinya yang ditugaskan ke negeri yang jauh? Kurasa sedikit sekali, ya. Toh, alasannya pasti balik lagi ke kewajiban laki-laki, yakni menafkahi perempuan. Tak mungkin lelaki yang berpindah pekerjaan, mestilah perempuan. Tak mungkin lelaki yang undur diri dari pekerjaan, mestilah perempuan. Ya Allah, jika memang ada lelaki yang seperti bayanganku, tolong simpankan satu untukku.
Jadi, aku tak ingin menjanjikan apa-apa, bahkan perasaan juga tidak. Bisa jadi saat ini aku mencintai dan sangat menginginkanmu, tetapi saat perkenalan yang lebih serius nanti aku malah undur diri karena berbeda paham denganmu. Hal itu bisa saja terjadi dan mungkin sekali.
Maka dari itu, aku tak ingin menjanjikan apa-apa...

Luv,
Nadia Almira Sagitta

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun