Hari ini aku berjumpa dengan penjual bubur sumsum keliling di depan kosanku. Penjualnya pemuda kecil dan kurus. Tebakanku, sih, masih SMA.
"Mas, bubur sumsumnya satu, ya."
"Oh iya, Mbak."
"Berapa?"
"Lima ribu."
Ia membuka tutup wadah buburnya dan tampaklah jualannya masih berlimpah, padahal hari telah sore menjelang petang.
"Mbak maba, ya?"
"Wah, hahaha, bukan, Mas. Saya mah udah tingkat akhir."
"Oooh, asli mana, Mbak?"
"Asli mana, ya. Campur-campur, sih. Saya Jawa-Minang. Sumatra."
"Oalah. Kalau Jawanya?"
"Jogja."
"Deket sama kampung saya, Mbak. Saya Cilacap."
"Oalah. Kalau naik kereta enam jam kali, ya?"
"Kalau naik bus, sih, sehari semalam, Mbak. Tapi katanya naik kereta udah murah, ya?"
"Wah, nggak juga, Mas. Masnya sendiri masih sekolah? SMA?"
"Saya masih SMP, Mbak. Tapi nanti mau sekolah di UI juga."
"Aamiin, aamiin."
"Pakai sendok, Mbak?"
"Iya, pakai."
"Ini, Mbak."
"Makasih, ya."
Halo, adik kecil penjual bubur sumsum. Mulia sekali dirimu membantu orangtua dalam mencari penghasilan. Semoga impianmu berkuliah di UI kelak bisa tercapai. Semoga saat itu UI belum menjelma kampus mewah yang hanya terjamah oleh orang-orang kaya. Tetaplah berprestasi, Dik! :)
NB: Kalau kalian berjumpa dengan Mas ini di Kutek, tolong beli jualannya, ya. Bubur sumsumnya enak, lho! Nggak nyesel, deh. :)
Salam,
Nadia Almira Sagitta
Comments
Post a Comment