Kau tahu, aku menyukai biru. Betapapun banyaknya koleksi baju merah jambuku, aku tetap tak dapat beralih dari biru. Biru tua, muda, navy, aqua, turquoise, toska, semua kusuka.
Aku tak menafikan kesukaanku pada senja, tetapi aku pun suka langit yang membiru di pagi hari juga malam hari.
Aku memilih laut ketimbang gunung karena laut menawarkan biru yang indah. Aku suka melihat warna laut dan langit yang seolah menyatu karena memantulkan warna yang serupa. Aku suka laut, sepaket dengan ombak dan pasirnya, walaupun aku tak pandai berenang.
Aku menyukai kamu yang telah membuat hatiku lebam-lebam membiru. Memang tidak selalu biru, terkadang ada warna kuning juga warna merah yang bersemu, tetapi masih dominan biru. Sebab, setelah semua warna-warna itu, kau meninggalkanku bermonolog sendirian. Sibuk menerka-nerka perasaan, menimbang-nimbang hal yang mesti dilakukan kemudian, dan mempersiapkan raga bila harus terjerembap jatuh untuk kali ke sekian. Dan, perasaan itu kuterjemahkan dengan biru.
Aku menyukai biru dan selalu kembali pada biru betapapun ada warna yang lain-lain. Mungkin itu yang membuatku selalu kembali padamu. Karena kau meninggalkan jejak biru di hatiku.
Many researchers say that our ancestors didn't have the word for blue before modern era. Blue is the last color perceived by human, they said. And I, want you as the first and last person I see everyday. The very first and last person to tie the knot with.
Do I sound too cheesy? Well, it's not your fault nor mine when you have a writer loves you deeply. Here's a quote from Mik Everett, "If a writer falls in love with you, you can never die."
Comments
Post a Comment