Skip to main content

Fajri, penjaja tisu cilik

sumber gambar

Dua hari lalu di dekat halte Pocin, aku menonton iring-iringan mobil bak mahasiswa FIB dalam rangka Karnaval Budaya. Anak kecil yang membawa plastik lewat di depanku, "Tisunya, kak?" Aku tersenyum kecil dan menolak tawarannya. Setelah mobil bak terakhir berlalu, aku menuju halte. Di sana si anak penjual tisu sedang duduk memakan permen kacamata. Hm, anak 90-an semestinya tahu permen ini. Itu lho, permen cokelat seperti M&M yang dikemas berbentuk kacamata--atau angka delapan.

"Tisunya, ya, satu. Jualan sendiri aja?"
"Iya, nih, kak. Soalnya aku datangnya sore."
"Memangnya dari mana?"
"Tadi aku sekolah dulu, kak. Aku kelas enam."
"Oh ya? Eh, kamu suka pelajaran apa di sekolah?"
"Mmmm, bahasa Indonesia."
"Wah, serius? Kakak belajar bahasa Indonesia, lho, di kuliah. Eh, iya, beli di mana permennya? Kakak kangen, deh, permen itu. Itu permen waktu kakak kecil."

"Nggak tahu, kak. Tadi aku dikasih sama kakak-kakak dari mobil tadi. Dikasih, ya, kenapa nggak, hehe."
"Oalah sama anak Jerman. Kakak jarang, lho, lihat kamu jualan di sini. Baru, ya? Kamu namanya siapa? Kakak Nadia."
"Fajri, kak. Iya, aku biasanya mangkal di UP. Kakak aku kuliah di UP."

Bikun yang kutunggu mulai terlihat dari kejauhan.
"Fajri mau ke mana abis ini? Jualan di sini? Ke stasiun aja, Ri. Lebih ramai. Kakak mau ke sana, nih, naik bikun. Anak-anak lain, tuh, kadang suka ngadem di bus."
"Iya, nih, kak. Aku juga mau naik bus ke sana. Mau jualan di tangga jembatan."
"Gitu? Bareng, dong!"

Fajri memilih tempat duduk di sampingku, di barisan kursi paling belakang. Kami bercerita hal-hal lain dengan sok asyiknya sampai beberapa mahasiswa curi-curi pandang pada aku dan Fajri. Hahaha, kocak, sih. Sesampainya di stasiun, kami menuju jembatan penyeberangan. Fajri duduk di pojokan jembatan dan aku pun pamit hendak menuju Kober. "Fajri, kakak duluan, ya. Dah!" "Iya, kak. Dah!"
Sebenarnya aku kepikiran mau memberinya sesuatu karena sudah menemaniku bercerita. Aku mampir ke Indomaret dan membeli susu. Maksudnya ingin ngasih ke Fajri, tetapi ketika aku kembali ke jembatan dia sudah tidak ada di tempat.

Adik kecil, kamu ke mana? Seharusnya kita bertemu lagi. Semoga lain kali. Makasih sudah ngobrol sama kak Nad! ^^

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaa

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.