sumber gambar |
Tertanggal 29 November pada suatu tahun, dua orang menjalin pertemanan. Mereka membicarakan banyak hal mulai dari yang serius sampai yang mengundang gelak tawa. Berjam-jam mereka memandangi layar hingga keduanya ditegur oleh keluarga masing-masing. Hari itu perkenalan ditutup dengan perasaan yang aneh, seolah ingin lagi dan lagi berbincang. Tak butuh waktu lama agar keduanya erat bagai sahabat. Topik-topik yang terlontar saling menemukan pengait. Bulan demi bulan diisi dengan berbagai kejadian yang mendatangkan semu malu-malu pada dua anak berseragam abu-abu.
...tetapi gempa mengguncang jalinan persahabatan yang baik itu dan membuat jurang antara keduanya. Keduanya terpaksa menunggu hingga jembatan penghubung dibangun pemerintah. Bertahun-tahun mereka mengusahakan bahagia masing-masing hingga terlupalah satu sama lain. Enam tahun kemudian, sebuah jembatan telah berdiri dengan gagahnya. Seorang gadis menunggu di seberang, menimbang-nimbang langkah pertama, dan memastikan jembatan itu benar kokoh tak akan menjerumuskannya ke dalam jurang yang mengerikan.
Dua puluh delapan tapak kaki ia berhenti. Menyadari bahwa lengangnya situasi dan hanya ia sendiri, matanya memicing ke ujung jembatan yang sepi. Daerah itu menjadi sangat asing, asing bagi hati kecilnya. Ia tak yakin sahabatnya masih sama dan sedia menerima. Ia sendiri telah berubah, pola pikirnya telah mendewasa berkat kejadian yang menempa beberapa tahun belakangan. Suara-suara meresahkan batinnya dan menarik langkah kaki ke arah sebaliknya. Menuju jalan pulang.
Perempuan itu tahu bahwa waktu telah mengubah semua kejadian di masa lalu.
Tak semua kejadian masa lampau pantas diberi tempat untuk nostalgia.
Sebab, nostalgia seringnya hanya menimbulkan luka hati.
Comments
Post a Comment