Skip to main content

Ulasan Critical Eleven



Judul: Critical Eleven 

Penulis: Ika Natassa 

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 344


Two books in two days dan sesenggukan berulangkali. Setelah puas dicekoki cerita sulitnya conceive anak di Twivortiare 2, sekarang dicekoki sulitnya menghadapi kenyataan anak yang gugur dalam kandungan. Woh, marriage life is hard, man.

Because of the title, aku akan menjabarkan sebelas pesan yang kudapatkan di novel ini.
1. Makeup sex really does work, doesn't it? (tanya sama yang udah nikah aja untuk klarifikasi)
2. Satu hal sepele yang tak bisa disepelekan adalah komunikasi. Cara kita berkomunikasi sangat berpengaruh terhadap reaksi lawan tutur. Watch your talk and how you talk.
3. Sahabat itu ada dalam susah dan senang. Jangan ragu menceritakan kegelisahan hati pada sahabat, 'cause believe me, apa-apa yang disimpan sendiri sanggup bikin kita hilang kewarasan. Who knows nanti kita dapat solusi?
4. Perempuan itu kadar emosinya sangat tinggi. Gampang sedih dan nangis. Kalau sudah begitu, tugas kamu sebagai laki-laki cuma peluk, nggak usah pakai ceramah. Because we already know that we did something wrong, nggak perlu ditegaskan lagi (warning: jadi mahram dulu baru boleh peluk-pelukan)
5. Melupakan sesuatu itu tidak mudah apalagi sesuatu yang sempat mengukir bahagia. Nikmati prosesnya, nggak usah buru-buru melupakan jika memang belum ingin atau siap. Nanti malah semakin tidak bisa lupa jika hati dan otak terpaksa.
6. Laki-laki itu makhluk visual. Mereka selalu senang dengan apa-apa yang menyenangkan mata. Dari mata turun ke hati, bukan?
7. Katanya, manusia itu akan berubah menjadi lebih baik jelang menikah. Ada kesadaran untuk menjadi lebih dewasa. Terkhusus laki-laki yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga.
8. Family-man is a dream guy! At least for me. Senang aja melihat laki-laki yang akrab sama anak kecil, seperti tokoh Ale dalam novel ini yang akrab dengan Nino.
9. Jodoh itu Tuhan yang atur. Bagaimana pertemuan pertamanya dan kapan waktunya itu hanya Tuhan yang tahu. Tak usah dipusingi. Chance menikah dengan a total stranger itu ada.
10. Jarak bukanlah penghalang kalau sudah cinta. Terpisah ribuan kilometer pun akan tetap dijalani. Sekali lagi, catat, kalau sudah cinta. Asal, keduanya telah mempertimbangkan dengan sadar bahwa jarak bukanlah batu sandungan dalam pernikahan.
11. Pernikahan itu keputusan besar dalam hidup. Usahakan segala cara untuk mempertahankan pernikahan. Jangan memilih jalan keluar dengan menarik diri dari ikatan yang kabarnya mengguncangkan langit dan bumi itu. Mitsaqan ghaliza, mamen, jangan main-main.

Makasih ya Mbak Ika, aku jadi kepikiran nikah gara-gara novelmu. Bukan maksud berpikir untuk terburu-buru, tetapi cenderung memikirkan ulang, "Butuh banget nggak sih nikah untuk sekarang ini? Sudah punya apa? Butuh atau sekadar mau?"

Mari membaca Critical Eleven dan merenung bersama. Buku ini tersedia di iJakarta, lho! Penilaianku atas buku ini adalah 4,5 bintang dari 5.

Luv,
Nadia Almira Sagitta



Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun