Skip to main content

Remedi

sumber gambar

Kabin Singapore Airlines, kursi 19 C. Senyap, semua sudah pejam. Waktu yang tertera di KrisWorld menunjukkan pukul dua danniari. Itu berarti masih tersisa delapan belas jam lagi. Di sampingku, sepasang kekasih yang baru saja pulang berbulan madu, mendengkur pelan. Aku tidak bisa tidur. Bukan, bukan karena suara dengkuran mereka yang terlalu halus, melainkan karena pikiranku tak henti-hentinya mengaitkan kejadian satu demi satu. Ingatanku terbayang perkataanmu dua hari sebelumnya. Gulita sunyi begini mengingat kamu. Aku menarik selimut hingga menutupi leherku sebab angin dingin di kabin mulai menggigilkan kulit. Andai aku bisa meringkuk, tentu akan lebih baik. Sayangnya ruang kursi kabin ekonomi tak memungkinkan untukku meringkuk. Oh ya, sampai di mana aku tadi? Ya, ya, perkataanmu. Dua hari lalu pertama kalinya kamu bilang rindu padaku dan ingin segera bertemu. Tahukah engkau hal itu sungguh sudah mengacau pikiranku?

Aku mengeluarkan catatan kecil lalu menyalakan lampu baca. Cahaya kekuningan itu hanya menerangi kursiku. Jadi, kurasa tak akan mengganggu orang lain.

When the pain cuts you deep
When the night keeps you from sleeping
Just look and you will see
That I will be your remedy...
(Adele, "Remedy")

Aku bukannya tak kenal engkau. Aku masih ingat kita bersitatap pertama kali ketika aku terlambat menghadiri pertemuan perdana kelompok yang melibatkan kita berdua. Aku ingat ketika aku mendapati foto senyum sumringahmu berdua dengan perempuan lain. Juga sayatan hatiku yang tertinggal ketika menangkap foto itu di linimasa media sosialku yang kemudian mengurungkan diriku untuk mencari-cari lebih jauh tentangmu. Aku tahu engkau. Maka adalah suatu kejutan ketika kita dipertemukan lagi saat ini.

Jejal, jubel, riuh. Kejadian-kejadian berebut untuk kurunut dan kurangkai. Hati tanpa asuransi yang telah diporakporandakan. Sebuah pertemuan dan sebentuk kenyamanan. Aku tak tahan. Air mata pun mulai menitik. Menderas tanpa kusadari. Menyebabkan pening luar biasa di kepala kiriku. Dua hari setelah perkataanmu, kutemukan diriku menangis pertama kali karenamu. Salahmu mengapa menghadirkan diri padaku di tempo yang serba kebetulan.

Aku terusik ketika seseorang menggoyang-goyangkan pundakku. Seorang pramugari menatapku cemas, "Miss, are you okay?" Ah, aku sudah tertidur berapa jam? Masih gelap kulihat jendela. Kuanggukkan kepala, tetapi langsung buru-buru kutarik kantong kertas yang disediakan untuk para penampung yang mabuk perjalanan. Atau bisa juga bagi penumpang yang baru saja terlelap dengan jalur air sepanjang mata hingga pipi sebab dilanda kebingungan hati. Mual dan serasa ditusuk-tusuk. Aku tak sampai muntah, namun rasanya lebih tak bebas karena ada yang mengganjal tertahan. Seperti perasaan yang juga tertahan, tak ada yang lebih menyesakkan daripada itu.

Aku lari jauh ke kota yang dilabeli sebagai kota yang tak pernah tidur dengan harapan meninggalkan semua kenangan di belakang. Berusaha melupakan walaupun hanya sejenak. Kemudian engkau datang di pertengahan, secara tak langsung menawarkan diri menjadi pengalihan. Menyibakkan gorden yang menghalangi pintu menuju hatiku. Aih, kamu. 

Will you be my remedy?

remedi (n) perbaikan (tentang belajar); penyembuhan dari sakit

Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun