Skip to main content

Sepasang anak di tanah lada

Judul: Di Tanah Lada 

Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie 

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 240


Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Nama yang unik, bukan? Itu yang kutangkap dari sampul buku terbaru Zezsya, Jakarta Sebelum Pagi. Aku lalu mencari buku karangan lainnya di iJakarta. Siapa tahu saja ada. Eh, ternyata memang ada! Novel Di Tanah Lada setebal 240 halaman. Sampulnya lucu, langit putih bertabur bintang dengan tiga awan biru yang menghiasi. Seorang gadis kecil duduk bersimpuh di depan batu.

Dikisahkan perkawanan Ava dan P, seorang gadis kecil dan tuan cilik. Merasa cocok, mereka pun berteman tak terpisahkan. Seperti pasangan sehati, mereka tak ingin kehilangan. Ah, terlalu muda jika aku menyebutnya kekasih. Akan tetapi, dialog-dialog mereka memang memancing gemas sehingga pembaca lupa ini adalah percakapan antara anak berusia enam dan sepuluh tahun!

"Tapi, kan, kamu mau jadi kakek, ya?"
"Iya, sih. Tapi malas juga jadi kakek kalau nggak ada neneknya. Kamu jadi nenek, dong."
"Boleh, deh, kalau begitu, aku jadi nenek. Tapi kita harus tua dulu, ya?"
"Iya. Masih lama, nih. Jadi kakek sama nenek, tuh, umurnya harus 100 tahun dulu."

Duh, rasanya aku sedang membaca gombalan receh yang menggemaskan, hahaha! Omong-omong, mereka bukannya sedang main keluarga-keluargaan, ya. Oya, ada satu lagi kutipan yang membekas padaku.
"Papaku jahat, sih. Sudah biasa."
"Oh, ya? Papaku juga jahat, kok. Mungkin semua papa memang jahat."

Lihat? Ini kesimpulan sederhana yang ditarik anak kecil dari kejadian yang ditangkapnya sehari-hari. Dari buku ini kita belajar bagaimana memberikan kesan yang baik untuk anak sebab kesan buruk akan terus membekas di hati sang anak. Oh, dear, calon orang tua...

Ava dan P digambarkan seperti anak kecil yang terlalu lekas dewasa. Pikiran mereka bijak, penuh pertimbangan, dan tak lazim untuk anak-anak seumuran mereka. Kehidupanlah yang membentuk pola pikir seperti itu. Di akhir cerita, ada satu tokoh yang mengingatkan mereka untuk kembali ke kodrat mereka, yaitu anak kecil. Anak-anak harus polos, tidak skeptis pada kehidupan, dan hidup tanpa rasa takut yang membayangi.

Buku ini super. Sederhana, tetapi penuh pesan yang tidak menggurui sebab dituturkan dari sudut pandang seorang Ava. Keunikan buku ini adalah adanya makna-makna kata yang dicomot Ava dari kamus bahasa Indonesia. Diceritakan bahwa Ava merupakan penggemar kamus. (Wah, jika besar nanti, dia bisa jadi seorang leksikograf!) Tampaknya si pengarang senang mencari makna kata. Keberadaan definisi kata itu sama sekali tidak mengganggu, malah menjadi daya tarik novel ini, bagiku.

Kisah Ava dan P dapat kamu baca di iJakarta. Stok bukunya banyak, kamu tak perlu mengantre. Ah ya, selamat hari anak sedunia! Kebetulan sekali aku membaca buku tentang anak hari ini. Kalau kamu, sedang membaca buku apa?

Salam,
Nadia Almira Sagitta


Comments

Popular posts from this blog

Dialog Zainuddin Hayati

"Saya akan berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu, sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin. Saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku." "Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?" "Mengapa kau jawab aku sekejam itu, Zainuddin? Sudah hilangkah tentang kita dari hatimu? Janganlah kau jatuhkan hukuman. Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini." "Iya, demikianlah perempuan. Ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik-mamakmu karena saya asalnya tidak tentu, orang hina-dina, tidak tulen Minangkabau! Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanga...

Surat Hayati

Pergantungan jiwaku, Zainuddin Sungguh besar sekali harapanku untuk bisa hidup di dekatmu. Supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita sebab engkau sendiri yang menutup pintu di depanku. Saya engkau larang masuk. Sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam, kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu. Lantaran membalas dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam. Engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu, percayalah Zainuddin bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpa celaka kepadaku saja, tetapi kepada kita berdua. Karena saya tahu bahwa engkau masih tetap cinta kepadaku.  Zainuddin, kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung. Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kek...

Review Salon Flaurent Jogja

Heyyyy, guys! Kali ini, saya mau review salon Flaurent Jogja yang baru saja saya kunjungi tadi. Dua tahun lalu, saya juga sempat ke sini bareng ibu, nah kali ini bareng tante. Bisa dibilang, ini salon perempuan pertama yang saya datangi dan memprakarsai hobi baru saya di Depok, yakni nyalon. Wakakaka. Tanteku memberi saran untuk mengambil paket mini yang terdiri dari body spa, hair spa, dan facial . Tiga perawatan ini bisa kalian ambil dengan merogoh kocek Rp125.000,00. Gila. Ini-murah-banget! Salon langgananku aja bisa kena biaya sekitar Rp300.000,00.

Percakapan Ponakan dan Om Tante

A: Ante, ke dokterlah. Supaya tahu sakitnya. Kasihan batuk dan menggigil terus. T: Indaklah. Ante ndak suka minum obat. A: Loh, siapa yang suruh minum obat. Ke dokter saja. R: Ha, lepas tu? Buat apa kita ke dokter, kak? A: Ya cek ajalah. Nanti kalau dikasih resep, tak usah beli kalau tak mau diminum. R: Entah apa-apa kakak ini. Haha, cengkunek. O: Ntah berkelit ke berapa hari ini. Tak mau kalah dia. A: Wah, mestilah, Om. Anak sastra mesti jago berkelit. R: Aduuuh, gimanalah suami kakak nanti itu. Ribut, lah. A: Mana pulak. Indak, lah. R: Kalau dapat yang heboh juga, wah saling berkelit nanti. Jangan sama anak sastra lagi, kak. O: Sama anak ekonomi saja, Nadia. A: Kenapa coba? O: Supaya nanti dia bisa menghitung, "Nah, sudah berkelit berapa kali istriku malam ini?" Kerjaan anak ekonomi, kan, menghitung-hitung saja, Nadia. A: Hahahahha. Alaaaah, si Om!  Medan, dalam mobil Karimun